Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Nyanyian Pemusik Padi

2 Maret 2020   18:21 Diperbarui: 5 Maret 2020   18:26 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petani. (sumber: Pixabay/Brazil Topno )

Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan hari musik Nasional. Selama ini kudengar orang-orang memperingatinya untuk mengenang Wage Rudolf Supratman, ah ya siapa pula yang tidak mengenal beliau, pencipta lagu kebangsaan Indonesia raya yang masyhur itu.

Berbeda dengan keluarga kami yang memperingati hari musik saat musim panen tiba. Ya, kami bermain musik setiap bulir-bulir padi mulai ranum, mungkin ini semua karena profesi bapak dan ibuku sebagai pemusik padi. Hei apa kau pernah mendengar profesi itu?Tenang saja aku akan dengan senang hati menceritakannya padamu, kemarilah, akan ku beri tahu semua yang kutahu.

Ayah dan ibuku adalah pekerja yang ulet. Mereka bekerja dengan bersiul-siul kecil di tengah sawah sejak pagi hingga sore hari, mereka menyanyikan lagu senandung panen untuk mengusir burung-burung gereja yang membentuk selimut hitam di hamparan sawah milik warga. 

Saat mereka bersiul dan menyanyi, kulihat padi-padi menari, pohon-pohon di tepian sawah menggerak-gerakkan rantingnya, tak lupa belalang, kupu-kupu dan semut kecil berhenti dari rutinitasnya, mereka juga ikut bersenandung ria. Angin-angin seakan menyambut mereka dengan lembut.

Saat ayah dan ibuku hendak memulai pekerjaannya, biasanya aku disuruh untuk duduk di pondok, sebuah rumah non permanen yang dibuat untuk beristirahat saat musim panen Telah tiba. Atapnya dibuat dari daun pandan kering yang dijalin dengan lidi kelapa, cukup untuk 3-4 orang saja. 

Dengan menggunakan tengkuluk, sebuah benda yang menutupi kepala ibu dari terik matahari ibu berjalan berdampingan dengan ayah ke tengah hamparan sawah. 

Keduanya telah membawa bermacam perlengkapan di atas nyiru, berbentuk bulat dari anyaman rotan. Aku memperhatikan ayah dan ibu di muka pintu, sambil menggoyangkan kaki, bibirku perlahan bergerak membentuk sudut lingkaran kecil, ku tiup-tiup mengikuti irama ayah dan ibu.

Ayah dan ibu akan selesai jika matahari telah hilang dari peraduannya, berganti warna kemerahan yang disusul oleh gelap malam. Para warga dusun kami telah mafhun dengan pekerjaan ayah dan ibuku, mereka akan membiarkan ayah dan ibuku bekerja seharian. Sebagai gantinya, mereka meletakkan bermacam hasil kebun yang mereka punya.

Dalam ingatanku, pekerjaan mereka ini bertahan cukup lama. Setiap musim panen yang terjadi satu tahun sekali, ayah dan ibu meraup keuntungan dengan pembayaran hasil bumi yang bisa menghidupi kami hingga musim panen berikutnya. 

Bahkan berkat kemampuan ayah dan ibuku yang tidak dimiliki oleh orang lain, saat area sawah digunakan untuk Ubai, sebuah prosesi adat mengambil ikan di masyarakat Melayu lama, kami pun kebagian mendapatkan ikan-ikan segar hasil tangkapan.

"Ini berkat bantuan pak Kadir dan istri. Ikan-ikan di sini terjaga, jangankan manusia, burungpun takut mau mengambilnya dari dari sawah yang sudah dipasang bapak dan ibu" kata pak Kosim sambil melepaskan ikan dari Sakan, anyaman bambu  dan daun kelapa muda untuk kandang ikan.

"Ah bapak ini berlebihan, yang kuasa sudah menakdirkan ikan-ikan ini untuk kita pak. Kita jaga saja alamnya, nanti juga akan dikasih yang baik-baik" balas bapak.

Keduanya lalu terlibat percakapan cukup serius di halaman rumah kami. Terlihat jelas raut muka bapak tak mengenakan, ibu yang keluar mengantarkan kopi untuk mereka juga langsung terdiam mendengar percakapan keduanya. Tal lama setelah itu, pak Kosim berjalan gontai meninggalkan ayah dan ibuku duduk di kursi halaman.

Prak!

Suara bantingan gelas kopi mengenai tiang rumah.

"Bagaimana mungkin, sejak Puyang kita masih hidup, cara ini yang paling baik. Tau apa mahasiswa yang baru lulus itu?" Sergah bapak.

Ibu yang ada di hadapannya hanya menunduk sedih. Entah akan seperti apa tanggapan para Tengganai, keluarga besar ibu dan bapak jika tahu kalau semua proses menanam padi diserahkan pada bahan-bahan kimiawi itu. Bahkan untuk mengusir burung-burung yang biasa menghinggapi padi, mereka akan menyemprotkan zat tertentu.

Sekarang, pekerjaan ayah dan ibuku sebagai pemusik padi  mungkin tidak akan digunakan lagi. Mahasiswa yang baru menyelesaikan kuliahnya di kota itu akan menerapkan sistem modern yang tak pernah kami lakukan selama ini. Itu artinya aku tidak akan pernah melihat padi-padi menari, pepohonan yang bergoyang serta hewan-hewan yang bersenandung bersama di sawah-sawah milik warga desa ini.

***

Perlahan Pintu kamar berderit, muncul wajah teduh yang sangat ku kenal. 

"Jihan, apa yang sedang kau lakukan, bermain sawah-sawahan lagi?" Tanya ibu.

Aku mendongak, tampak butiran pil dan sirup berbaris rapi di samping  makan siang yang dibawakan ibu  untukku. Huuh, aku benci harus menelan obat-obatan itu!

Anggota tim Supik-Supik:

Novita Sari
Syarifah Lestari
Novelis Sandra Borthy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun