"Ah bapak ini berlebihan, yang kuasa sudah menakdirkan ikan-ikan ini untuk kita pak. Kita jaga saja alamnya, nanti juga akan dikasih yang baik-baik" balas bapak.
Keduanya lalu terlibat percakapan cukup serius di halaman rumah kami. Terlihat jelas raut muka bapak tak mengenakan, ibu yang keluar mengantarkan kopi untuk mereka juga langsung terdiam mendengar percakapan keduanya. Tal lama setelah itu, pak Kosim berjalan gontai meninggalkan ayah dan ibuku duduk di kursi halaman.
Prak!
Suara bantingan gelas kopi mengenai tiang rumah.
"Bagaimana mungkin, sejak Puyang kita masih hidup, cara ini yang paling baik. Tau apa mahasiswa yang baru lulus itu?" Sergah bapak.
Ibu yang ada di hadapannya hanya menunduk sedih. Entah akan seperti apa tanggapan para Tengganai, keluarga besar ibu dan bapak jika tahu kalau semua proses menanam padi diserahkan pada bahan-bahan kimiawi itu. Bahkan untuk mengusir burung-burung yang biasa menghinggapi padi, mereka akan menyemprotkan zat tertentu.
Sekarang, pekerjaan ayah dan ibuku sebagai pemusik padi  mungkin tidak akan digunakan lagi. Mahasiswa yang baru menyelesaikan kuliahnya di kota itu akan menerapkan sistem modern yang tak pernah kami lakukan selama ini. Itu artinya aku tidak akan pernah melihat padi-padi menari, pepohonan yang bergoyang serta hewan-hewan yang bersenandung bersama di sawah-sawah milik warga desa ini.
***
Perlahan Pintu kamar berderit, muncul wajah teduh yang sangat ku kenal.Â
"Jihan, apa yang sedang kau lakukan, bermain sawah-sawahan lagi?" Tanya ibu.
Aku mendongak, tampak butiran pil dan sirup berbaris rapi di samping  makan siang yang dibawakan ibu  untukku. Huuh, aku benci harus menelan obat-obatan itu!