Tampak luar gedung menjadi unik dengan kusen jendela, pintu dan railing balkon yang berwarna kuning. Suasana di dalamnya pun dibuat seasli mungkin dengan keberadaan furniture kuno di ruang jamuan yang mendominasi lantai bawah, piano asli milik Laksamana Maeda dan study room yang digunakan untuk mengetik naskah proklamasi. Halaman di luar bangunan boleh dibilang luas, yang sebagian sudah diubah menjadi tempat duduk-duduk sambil berfoto dengan patung Soekarno, Hatta dan Achmad Subardjo. Selain itu, bangunan ini mempunyai bunker atau ruang bawah tanah, yang sayangnya tidak sempat kami kunjungi karena keterbatasan waktu. Lantai atas adalah bekas kamar-kamar tidur yang ruangannya sedang digunakan untuk pameran ketika kami berada di sana, sehingga kami tidak dapat mengetahui interior aslinya di masa lampau.
Tugu Proklamasi
Kami tiba di Tugu Proklamasi pukul 12 siang, di mana tugu ini berada di lapangan terbuka tanpa atap sedikit pun. Setelah menyempatkan diri untuk memfoto tugu-tugu peringatan yang ada, saya bergegas bergabung dengan para peserta lain mencari tempat berteduh di pinggiran seiring keberadaan sinar matahari yang sangat terik.
Tugu-tugu peringatan? Benar sekali, karena lapangan yang berada di Jalan Proklamasi No. 10 ini tidak hanya menaungi 1 tugu, melainkan 3 tugu dengan tahun pembuatan yang berbeda-beda.
Tugu Proklamasi didirikan pertama kalinya pada tahun 1946 untuk memperingati setahun kemerdekaan Indonesia. Kemudian, Soekarno membongkar tugu tersebut dan menggantinya dengan bentuk tiang setinggi 17 meter dengan petir di atasnya dengan posisi persis di mana Soekarno membacakan naskah proklamasi. Gedung Proklamasi pun beliau bongkar dan ganti dengan Gedung Perintis Kemerdekaan pada tahun 1960.Â
Pada tahun 1972, Tugu Proklamasi yang pernah dibongkar Soekarno dibangun kembali dengan bentuk dan lokasi yang sama seperti terdahulu dan diresmikan oleh Soeharto. Berikutnya, Soeharto juga meresmikan Monumen Pahlawan Proklamator Soekarno-Hatta pada tahun 1980.