Perayaan peringatan kemerdekaan boleh jadi telah usai dengan berakhirnya bulan Agustus, namun tentunya hasil perjuangan para pahlawan tetap bisa kita rasakan hingga kini dan seterusnya. Maka, tak ada kata terlambat bagi saya untuk berbagi pengalaman dalam merayakan kemerdekaan dengan cara yang tidak biasa, yakni mengikuti Walking Tour Napak Tilas Kemerdekaan bersama Wisata Kreatif Jakarta di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, tanggal 14 Agustus 2022 lalu.
Menteng tak hanya merupakan kawasan elit di Ibu Kota sejak zaman kolonial, namun juga kaya akan nilai-nilai sejarah, termasuk menaungi 3 saksi bisu utama yang berhubungan langsung dengan detik-detik kemerdekaan, yakni Gedung Joang 45, Museum Perumusan Proklamasi dan Tugu Proklamasi yang masing-masing kami kunjungi dengan berjalan kaki.
Karena tidak jadi bergabung dengan grup khusus Kompasiana yang dilaksanakan siang hari, saya bergabung dengan kloter 1 untuk umum, dengan peserta sekitar 20 orang, yang dimulai pukul 9 pagi.
Gedung Joang 45
Awalnya, Gedung Joang 45 adalah Hotel Schomper yang dikelola oleh LC Schomper dan keluarga pada tahun 1920an. Ketika Jepang menjajah Indonesia, hotel ini diduduki barisan propaganda Jepang. Kemudian diserahkan kepada pemuda Indonesia pada bulan Juli 1942 menjadi Asrama Angkatan Baru Indonesia yang merupakan markas pemuda radikal dalam perebutan kemerdekaan, sekaligus pusat pendidikan politik kebangsaan. Untuk mengendalikan dan menaungi para nasionalis, Jepang mendirikan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) tahun 1943, di mana setahun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Jawa Hokokai (Kebangkitar Rakyat Jawa) yang tujuannya sama. Setelah proklamasi kemerdeaan, para pemuda berhasil merebut gedung bekas hotel megah bergaya kolonial ini. Lalu gedung ini mengalami pemugaran yang selesai tahun 1974 menjadi Museum Joang 45.Â
Beberapa koleksi menarik dari museum ini adalah kendaraan-kendaraan antik kepresidenan yang pernah digunakan presiden Soekarno dan Hatta, replika poster-poster propaganda Jepang, kereta kencana serta patung dada para pejuang, antara lain Soekarno, Hatta dan Adam Malik. Tak cuma itu, pikiran saya terseret ke masa lalu membayangkan suasana yang asri, nyaman dan homey dari sebuah hotel yang cantik bangunannya selama kunjungan ke museum ini, sembari bertanya-tanya apa yang terjadi bila fungsinya dikembalikan menjadi hotel komersial dengan struktur bangunan yang tetap dipertahankan seperti aslinya.
Museum Perumusan Naskah ProklamasiÂ
Terus terang, nama "Perumusan Naskah Proklamasi" membuat saya kurang tertarik karena teringat pelajaran sejarah di kelas yang (sayang sekali) gurunya suka bikin ngantuk. Namun, anggapan tersebut tiba-tiba sirna setelah saya menyaksikan keindahan bangunannya. Didirikan tahun 1920, rumah bergaya Art Deco ini adalah tempat tinggal konsulat Inggris, yang kemudian dihuni Laksamana Maeda, perwira angkatan laut Jepang, selama pendudukan Negeri Matahari Terbit.
Tampak luar gedung menjadi unik dengan kusen jendela, pintu dan railing balkon yang berwarna kuning. Suasana di dalamnya pun dibuat seasli mungkin dengan keberadaan furniture kuno di ruang jamuan yang mendominasi lantai bawah, piano asli milik Laksamana Maeda dan study room yang digunakan untuk mengetik naskah proklamasi. Halaman di luar bangunan boleh dibilang luas, yang sebagian sudah diubah menjadi tempat duduk-duduk sambil berfoto dengan patung Soekarno, Hatta dan Achmad Subardjo. Selain itu, bangunan ini mempunyai bunker atau ruang bawah tanah, yang sayangnya tidak sempat kami kunjungi karena keterbatasan waktu. Lantai atas adalah bekas kamar-kamar tidur yang ruangannya sedang digunakan untuk pameran ketika kami berada di sana, sehingga kami tidak dapat mengetahui interior aslinya di masa lampau.
Tugu Proklamasi
Kami tiba di Tugu Proklamasi pukul 12 siang, di mana tugu ini berada di lapangan terbuka tanpa atap sedikit pun. Setelah menyempatkan diri untuk memfoto tugu-tugu peringatan yang ada, saya bergegas bergabung dengan para peserta lain mencari tempat berteduh di pinggiran seiring keberadaan sinar matahari yang sangat terik.
Tugu-tugu peringatan? Benar sekali, karena lapangan yang berada di Jalan Proklamasi No. 10 ini tidak hanya menaungi 1 tugu, melainkan 3 tugu dengan tahun pembuatan yang berbeda-beda.
Tugu Proklamasi didirikan pertama kalinya pada tahun 1946 untuk memperingati setahun kemerdekaan Indonesia. Kemudian, Soekarno membongkar tugu tersebut dan menggantinya dengan bentuk tiang setinggi 17 meter dengan petir di atasnya dengan posisi persis di mana Soekarno membacakan naskah proklamasi. Gedung Proklamasi pun beliau bongkar dan ganti dengan Gedung Perintis Kemerdekaan pada tahun 1960.Â
Pada tahun 1972, Tugu Proklamasi yang pernah dibongkar Soekarno dibangun kembali dengan bentuk dan lokasi yang sama seperti terdahulu dan diresmikan oleh Soeharto. Berikutnya, Soeharto juga meresmikan Monumen Pahlawan Proklamator Soekarno-Hatta pada tahun 1980.
Kunjungan kami ke Tugu Proklamasi menandakan berakhirnya acara Napak Tilas Kemerdekaan, yang disertai foto bersama untuk terakhir kalinya dan bagi saya pribadi, kegiatan diakhiri dengan menjadi sukarelawan untuk diwawancara oleh reporter TVRI.Â
Melintasi Beragam Warisan Sejarah dan Budaya
Beruntunglah saya memutuskan untuk mengikuti rute pagi karena matahari belum terlalu terik ketika kami berjalan kaki dari 1 destinasi ke destinasi lain yang memakan waktu 30 hingga 40 menit. Terlebih, banyaknya pohon rindang di sepanjang jalur khusus pejalan kaki yang membuat cuaca lebih adem sehingga tidak terlalu banjir keringat. Selain menyehatkan badan, berjalan kaki membuat kami lebih sadar dengan lingkungan sekitar dan mampu melihat segala sesuatunya lebih detil daripada naik kendaraan.
Kami pun sempat melintas di depan rumah Achmad Subardjo, yang sayang sekali sudah dijual melalui agen properti Ray White. Kondisi rumah tersebut agak kurang terawat dengan rumput liar dan facade bernoda hitam-hitam, namun masih tersisa keindahan gaya kolonialnya. Entah mengapa pemerintah tidak mengusahakan supaya rumah tersebut dilestarikan sebagai cagar budaya atau dijadikan museum misalnya.
Terdapat juga Hotel Cikini, yang berdiri di lokasi bekas kedai es krim Tjan Njan, yang sekarang bernama Tjanang karena situasi politik yang tidak memperbolehkan nama berbau Tionghoa di zaman Orde Baru. Sudah tak banyak generasi muda sekarang yang mengetahui keberadaan es krim tersebut, namun es krim Tjanang adalah favorit Soekarno dan keluarga Cendana.
Taste of Heritage Soekarno
Setelah tur selesai, saya sengaja meluangkan waktu sejenak ke Hotel Cikini untuk mencicipi es krim Tjanang karena hanya dijual di dalam hotel tersebut. Saya memilih best seller-nya, yakni kombinasi dengan 4 rasa berbeda dalam 1 cup, yakni coklat, stawberry, alpukat dan kopyor yang dibanderol Rp. 15.000 saja. Barulah saya tahu rupanya es krim Tjanang adalah es puter dengan tekstur lebih kasar daripada es krim zaman sekarang. Yah, namanya juga the taste of heritage yang resepnya tidak berubah dari zaman dulu. Menurut salah satu staf hotel, masih cukup banyak konsumen yang melepas kerinduan rasa es krim jadul besutan Lie Sim Fie ini, yang kini usahanya dijalankan oleh cucunya Yenie Lie.
Tak Sekedar Sejarah Kemerdekaan
Bagi saya, daya tarik dari tur napak tilas ini tak sekedar berpindah-pindah museum lalu melulu berkutat seputar proklamasi dan kemerdekaan saja, namun juga menyaksikan bangunan-bangunan indah bersejarah di sepanjang jalan selama berjalan kaki. Otomatis, saya mendapatkan wawasan baru tak terduga yang tidak selalu ada sangkut-pautnya dengan kemerdekaan. Bahkan pada akhirnya saya secara spontan menambah destinasi napak tilas yang menggunakan indera pengecap, yakni mencicipi es krim legendaris kesukaan presiden pertama Republik Indonesia, sekalian melepas dahaga setelah berpanas-panasan.
Boleh dibilang bagaikan menyelam sambil minum air lalu kebagian dessert es puter. Why not?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H