Pikiran negatif pun berusaha saya hapuskan dan digantikan dengan pikiran positif. Oke, kita terbang!
GPS dalam genggaman saya mulai menunjukan arah, kecepatan, lokasi, dan ketinggian pesawat. Tubuh ini pun memposisikan diri dengan memiringkan badan searah dengan kepala pesawat karena adaya gaya Newton.
Sampai tanda sabuk pengaman dilepas (meskipun penumpang tidak menggunakan sabuk pengaman) tanda penumpang boleh berdiri. Pada sekitar ketinggian 8000-12000 feet lah kami mulai bekerja.
Mata saya pun langsung menuju kumpulan-kumpulan awan yang tersebar. Berarti waktunya dilakukan penyemaian?. Tidak. Bukan sembarang awan yang dapat disemai.
Ingat, harus awan potensial seperti tipe cumulus dan stratiform karena awan inilah yang akan menjadi cikal bakal awan yang menurunkan hujan seperti awan cumulonimbus.
Jika tidak ada awan potensial, berarti tidak dapat dilakukan penyemaian. Jika dipaksakan, hasilnya akan percuma. Awan-awan kecil tidak mampu berkembang besar dengan cepat jika dilakukan penyemaian. Jadi, memang waktu yang tepat untuk dilakukan penyemaian adalah pada awal atau akhir musim hujan, ketika ada awan potensial.
Salah satunya berasal dari laut. Garam yang digunakan pun bukan sembarang garam tapi garam yang ukurannya sekitar 30 mikron. Satu butir garam bisa melekatkan hingga jutaan droplets (butir-butir air hujan) yang akan membentuk awan. Jadi, garam yang dimasukan tidak akan membuat air hujan menjadi asin.
“Buka setengah” kata kapten Ari kepada kru pesawat agar membuka setengah dari tabung konsul. Tekanan di kabin pun berkurang. Saya menelan ludah beberapa kali supaya telinga tidak budek.
Sepertinya sang pilot sudah mengerti setelah beberapa kali mengikuti kegiatan TMC ini karena sudah tahu tipe-tipe awan yang harus disemai. Tak pernah saya lihat seorang pilot yang senang ketika melihat awan cumulus.