Mohon tunggu...
Tumpal Sitompul
Tumpal Sitompul Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Imbangkan yang tersirat dan tersurat

try to learn from my mistakes

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pembuktian

25 September 2016   22:36 Diperbarui: 26 September 2016   10:45 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan saya dibawah ini berangkat dari artikel bagus ini, semoga tidak buat galau rekan-rekan jaksa penuntut umum yang berbahagia dengan tugas yang tidak mudah untuk membuktikan perkara dengan alat bukti circumstantial evidence 

Siapapun penuntut umum di dunia ini tentunya ingin membuktikan perkara yang dilimpahkannya ke pengadilan dengan mudah. “Mudah” dengan pengertian, penuntut umum telah memiliki alat bukti, terutama saksi yang memiliki pengetahuan berdasarkan apa yang ia lihat, ia dengar dan ia alami sendiri (direct evidence/ bukti langsung). Sehingga pengetahuan ini setidaknya berkelindan dengan kebenaran, bahwa benar ada suatu tindak pidana dan benar pula terdakwa adalah pelakunya.

Dan tentu akan jauh lebih rumit, jika penuntut umum melimpahkan suatu perkara yang berbasis pada alat bukti yang sifatnya circumstantial evidence (bukti tidak langsung), suatu bukti yang secara tidak langsung menunjuk suatu fakta, namun bukti tersebut dapat merujuk pada kejadian yang sebenarnya. Rumit karena seolah-olah terkesan apriori, tidak empiris, tidak terdapat bukti nyata yang terindera bahwa nyata-nyata seseorang telah melakukan tindak pidana.

Misal, jika ada seorang saksi menerangkan bahwa ia melihat si terdakwa pada pukul 10.00 Wib berjalan di Jalan RM Harsono. Kemudian ada saksi lain yang menerangkan bahwa ia melihat si terdakwa masuk ke pekarangan rumah korban yang ada di Jalan RM Harsono pada sekira pukul 10.00 Wib. Lalu ada saksi lainnya, saksi yang ketiga, yang menerangkan bahwa ia melihat si terdakwa keesokan harinya pada sekira pukul 12.00 tengah berada di sebuah pasar loak sambil membawa sebuah televisi, kemudian menjualnya disalah satu kios. Dan terakhir, saksi korban sendiri menerangkan bahwa ia kehilangan sebuah televisi yang terletak didalam rumahnya di Jalan RM Harsono.    

Pertanyaannya: tidak bisakah kemudian, dari ilustrasi diatas, kesaksian berantai (ketting bewijs) ini kita gunakan dan kita hubung-hubungkan satu dengan yang lain untuk membenarkan suatu tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh si pelaku?

Atau begini. Dalam perkara pembunuhan Munir, tidak ada satu pun saksi yang melihat langsung Pollycarpus meracun Munir. Namun, bisakah kita terus menggali mengapa Pollycarpus menggunakan surat tugas palsu untuk mendapatkan extra crew di penerbangan yang sama dengan korban Munir? Tidak bisa kah kita kemudian membangun suatu hubungan antara penggunaan surat palsu yang dilakukan Pollycarpus dengan fakta-fakta yang di seputar kematian korban, misal Pollycarpus yang menelepon ke telepon genggam Munir yang kebetulan diangkat oleh Suciwati, lalu Pollycarpus menanyakan hal keberangkatan Munir ke Belanda? atau bisa kah kemudian kita membangun suatu korelasi antara fakta diatas dengan, misal, adanya hubungan komunikasi telepon dari nomor Pollycarpus dengan nomor kantor ruang Deputi V BIN, atau keterangan salah satu saksi yang merupakan anggota BIN, yang ditugaskan untuk membunuh Munir dan saksi tersebut juga pernah pernah melihat Pollycarpus di kantor BIN?!

Kedua, sulit untuk tidak menafikan keberadaan circumstantial evidence ini. Kita bisa bayangkan begitu banyaknya tindak pidana yang dilakukan tanpa adanya saksi yang melihat langsung, akan dihentikan di tingkat penyidikan karena tidak cukup alat bukti.

Oleh karenanya tidak ada cara lain selain membuktikan keberadaan circumstantial evidence itu di pengadilan, untuk menentukan apakah circumstantial evidence tersebut dapat menyatakan kebenaran suatu peristiwa ataukah hanya sekedar asumsi yang didasari nafsu belaka.

Dalam praktek, baik pihak penuntut umum maupun pihak penasehat hukum akan saling membuktikan di muka persidangan. Pembuktian, oleh karenanya banyak dikatakan oleh ahli hukum, sebagai “jantung” nya pengadilan. Ia adalah sesuatu yang esensial untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak bersalah.

Terkait dengan pembuktian tersebut pula, pengadilan disebut juga sebagai sebuah laboratorium nalar. Dalam “laboratorium” tersebut, alat bukti kemudian di uji. Diuji sejauh mana alat bukti bagi penuntut umum tersebut memiliki relevansi, substansi dan kompetensi sehingga masuk akal untuk membuat terang suatu tindak pidana dan pelakunya dapat dipertanggungjawabkan oleh karenanya.

Dalam pengadilan itu, validitas keterangan saksi diuji mengenai apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan apa yang ia alami. Menguji seberapa jauh ahli memiliki pengetahuan khusus mengenai suatu hal yang sedang diperkarakan, dan lain sebagainya. Atau seberapa valid circumstancial evidence yang dihadirkan penuntut umum untuk membuat terang suatu peristiwa pidana.

Dan begitu juga sebaliknya oleh penasehat hukum, sejauh mana alat bukti yang dihadirkannya memiliki hal tersebut diatas untuk membuktikan bahwa kliennya adalah bukan pelaku dari tindak pidana. Membuktikan bahwa tuduhan penuntut umum didasarkan pada asumsi yang tidak bisa diverifikasi kebenarannya.

Dalam proses tersebut, bagi saya semua pihak yang terlibat sejatinya adalah “peragu”. Masing-masing adalah “ peragu” sesuai dengan kapasitasnya. Tidak hanya penasehat hukum yang menunjukkan keraguannya pada alat bukti yang diajukan Penuntut Umum. Pada kesempatan yang sama, Penuntut Umum adalah juga pihak yang meragukan alat bukti yang diajukan pihak penasehat hukum untuk meringankan terdakwa. Proses yang sungguh tidak sederhana ini tentunya dilakukan untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil dari suatu kasus.

Oleh karenanya saya berpikir, bahwa sebenarnya juga pihak-pihak yang beracara di persidangan, tidak sedang membela kliennya atau bahkan korban, melainkan: kasusnya.

Sama halnya pula dengan hakim, yang juga berkompeten untuk meragukan apa yang disampaikan oleh kedua belah pihak, yang juga menempatkan dirinya sebagai pihak yang netral untuk menilai kekuatan pembuktian dari alat bukti yang diajukan masing-masing pihak.

Dari penilaiannya terhadap alat bukti itulah kemudian muncul keyakinan hakim untuk memutus suatu perkara. Keyakinan bahwa adanya keraguan yang beralasan oleh karena tidak ada atau tidak cukup alat bukti, atau keyakinan akan keterbuktian kesalahan yang beralasan berdasarkan alat bukti. Keyakinan yang kukuh untuk: jangan sampai orang yang tidak bersalah kemudian dihukum, atau jangan sampai orang yang bersalah lalu dibebaskan.

Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun