Dan begitu juga sebaliknya oleh penasehat hukum, sejauh mana alat bukti yang dihadirkannya memiliki hal tersebut diatas untuk membuktikan bahwa kliennya adalah bukan pelaku dari tindak pidana. Membuktikan bahwa tuduhan penuntut umum didasarkan pada asumsi yang tidak bisa diverifikasi kebenarannya.
Dalam proses tersebut, bagi saya semua pihak yang terlibat sejatinya adalah “peragu”. Masing-masing adalah “ peragu” sesuai dengan kapasitasnya. Tidak hanya penasehat hukum yang menunjukkan keraguannya pada alat bukti yang diajukan Penuntut Umum. Pada kesempatan yang sama, Penuntut Umum adalah juga pihak yang meragukan alat bukti yang diajukan pihak penasehat hukum untuk meringankan terdakwa. Proses yang sungguh tidak sederhana ini tentunya dilakukan untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil dari suatu kasus.
Oleh karenanya saya berpikir, bahwa sebenarnya juga pihak-pihak yang beracara di persidangan, tidak sedang membela kliennya atau bahkan korban, melainkan: kasusnya.
Sama halnya pula dengan hakim, yang juga berkompeten untuk meragukan apa yang disampaikan oleh kedua belah pihak, yang juga menempatkan dirinya sebagai pihak yang netral untuk menilai kekuatan pembuktian dari alat bukti yang diajukan masing-masing pihak.
Dari penilaiannya terhadap alat bukti itulah kemudian muncul keyakinan hakim untuk memutus suatu perkara. Keyakinan bahwa adanya keraguan yang beralasan oleh karena tidak ada atau tidak cukup alat bukti, atau keyakinan akan keterbuktian kesalahan yang beralasan berdasarkan alat bukti. Keyakinan yang kukuh untuk: jangan sampai orang yang tidak bersalah kemudian dihukum, atau jangan sampai orang yang bersalah lalu dibebaskan.
Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H