Terkait dengan pernyataan yang disampaikan Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Moechgiyarto, di media massa beberapa hari yang lalu (kompas.com atau tribunnews.com), terkait dengan Berkas Perkara tersangka Jesica Kumala Wongso yang dinilai “mandeg” karena pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta berkali-kali mengembalikan berkas perkara tersebut, yang karena dinilai Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta masih dinyatakan belum lengkap, terdapat dua hal yang menarik yang perlu “diluruskan”.
Pertama, beliau menerangkan bahwa: “ menurut KUHAP tak ada kewajiban penyidik untuk mencari 2 (dua) alat bukti. Penyidik hanya mengumpulkan alat bukti. Kalau ada alat bukti, kasusnya naik ke Peradilan”; dan kedua, beliau berpandangan bahwa “seharusnya hakim yang memutuskan sebagai panglima yang terakhir supaya ada kepastian hukum. jadi kami jangan diombang-ambingkan dengan permasalahan (berkas bolak-balik) ini. Hukum dalam implementasinya terjadi bias, terjadi pergeseran, akhirnya penyidik harus mencari dua alat bukti.” Pelurusan ini penting untuk menghindari adanya pemahaman yang memberikan kesan seolah-olah pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menghambat proses yang telah dilakukan oleh pihak Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Dalam KUHAP pasal 1 butir 2, kita mengenai salah satu proses dalam tahap praajudikasi yang disebut dengan “penyidikan” sebagai “ serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Jadi jelasnya, “mencari” dan “mengumpulkan” bukti adalah merupakan kesatuan tindakan yang berangkai dan tidak dapat dipisahkan. “Bukti” tersebut yang kemudian akan menerangkan “apa tindak pidana nya? “ dan “siapa tersangka yang diduga melakukan tindak pidana tersebut?”, dan juga akan menjelaskan hal-hal spesifik mengenai: jenis dan kualifikasi dari tindak pidana yang terjadi, tempat dan waktu dari tindak pidana yang terjadi, hingga cara dan motif pelaku dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Sehingga oleh karenanya, proses penyidikan yang didalamnya terdapat tindakan penyidik untuk “mencari” dan “mengumpulkan” “bukti” adalah suatu keharusan yang memberikan “legitimasi” bahwa benar telah terjadi suatu dugaan tindak pidana dan bahwa benar si tersangka merupakan pelaku yang diduga melakukan tindak pidana tersebut.
KUHAP mengatur secara limitatif mengenai “alat bukti yang sah”, yaitu alat bukti sebagaimana yang tercantum dalam pasal 184 KUHAP, oleh karenanya “mencari” “bukti” (“bukti” dalam proses penyidikan akan “dikonversi” menjadi “alat bukti” jika dilimpahkan ke pengadilan) dapat dilakukan dengan cara, misalnya, pemanggilan terhadap saksi-saksi untuk memperoleh bukti: “keterangan saksi”, melakukan penyitaan terhadap dokumen-dokumen tertulis untuk memperoleh bukti: “surat”, dan sebagainya. Yang terpenting adalah “bukti” yang telah terkumpul tersebut memiliki akurasi dan relevansi untuk memperkuat adanya tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka dan terpercaya, artinya proses penyidik dalam perolehan bukti dilakukan dengan cara yang sah atau prosedural: tidak melawan hukum dan fair, misal, tidak menggunakan tekanan dan ancaman dalam memperoleh keterangan saksi sehingga saksi menerangkan yang tidak sebenarnya, atau pemalsuan terhadap dokumen untuk merekayasa bukti surat, dan sebagainya.
Proses Pra Penuntutan
Kedua, tidak serta merta “bukti” yang telah diperoleh penyidik dapat dilimpahkan ke pengadilan. “Diskresi” penyidik terkait dengan “bukti” yang telah diperoleh harus melalui ruang “uji” yang juga masih dalam tahapan praajudikasi, yaitu ruang yang disebut “pra penuntutan” (vide Pasal 110 Ayat (1), pasal 138 ayat (1) KUHAP), suatu proses dimana penuntut umum memiliki “diskresi” untuk mempelajari dan meneliti hasil penyidikan, yang termasuk didalamnya adalah perolehan “bukti” sebagaimana yang tertuang dalam berkas perkara yang diajukan oleh penyidik. Penelitian tersebut meliputi kelengkapan formil dan materiil berkas. Secara formil, berkas perkara harus melampirkan administrasi formal terkait dengan keabsahan secara formal keseluruhan tindakan atau upaya paksa yang dilakukan selama proses penyidikan, misalnya surat perintah penyidikan, surat perintah penyitaan yang juga dilampirkan juga dengan izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri, dan sebagainya.
Kemudian secara materiil, yang memiliki esensi terkait dengan pembuktian perkara itu sendiri yaitu melakukan penelitian apakah “bukti” sebagaimana yang diperoleh penyidik dan tertuang dalam berkas perkara telah memenuhi serangkaian unsur-unsur pasal sebagaimana yang disangkakan kepada penyidik, yaitu dengan bukti tersebut menunjukkan “tindak pidana” dan “kesalahan” tersangka; dan telah memenuhi syarat minimum pembuktian yaitu minimal terdapat dua alat bukti, serta tidak adanya “alasan pembenar” yang dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan dan tidak adanya “alasan pemaaf” yang menghapuskan kesalahan si tersangka. Sehingga oleh karenanya jika penuntut umum berpandangan hasil penyidikan sebagaimana yang tertuang dalam berkas perkara belum memenuhi persyaratan baik formil maupun materiil, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik untuk segera dilengkapi dengan disertai petunjuk mengenai hal-hal apa saja yang dipandang Penuntut Umum harus dilengkapi.
Otoritas yang dimiliki Penuntut Umum tersebut setidaknya ingin memastikan dua hal penting, yaitu (1) untuk memastikan apakah bukti yang telah diperoleh penyidik bisa digunakan untuk membuktikan tindak pidana dan kesalahan si tersangka kelak jika perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan. Karena jika perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan, maka beban pembuktian terletak pada Penuntut Umum.
Oleh karenanya penuntut umum sebagai pengendali perkara (dominus litis) wajib untuk memastikan bahwa bukti tersebut akurat, relevan dan terpercaya; (2) adalah juga untuk memastikan bahwa penuntut umum melakukan kegiatan penuntutan berdasarkan ketentuan telah diberikan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan: ”Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah”, artinya memberikan keadilan dengan memastikan benar bahwa hak terdakwa tidak dilanggar dengan dilakukan penuntutan yang sewenang-wenang dengan mendasarkan pada alat bukti yang diragukan akurasi dan kredibilitasnya.
Urgensi Kewenangan Supervisi atas Proses Penyidikan
Permasalahan yang mendasar adalah KUHAP tidak memberikan ruang kepada penuntut umum untuk bersikap aktif dan terlibat sedari awal dimulainya proses penyidikan yang dilakukan penyidik. Menurut Mardjono Reksodiputro, ruang pra penuntutan yang dintrodusir KUHAP hanya dilihat sebagai “kotak pos” pemindahan dokumen-dokumen antara penyidik dan penuntut (Mardjono Reksodiputro, 2007). Sehingga oleh karena tidak dibangunnya komunikasi yang intens sejak awal, lalu muncul ketidakselarasan antara penyidik dan penuntut umum terkait dengan hasil penyidikan, yang mana dimungkinkan terjadinya fenomena “bolak-balik berkas”.
Oleh karenanya menyikapi permasalahan tersebut, diperlukan ruang dimana penuntut umum memegang kendali dalam rangka mengkoordinasikan upaya penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti sehingga arah penyidikan dapat ditentukan sedari awal untuk memberikan hasil penyidikan yang optimal.
Pustaka:
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Kelima (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,2007)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H