Permasalahan yang mendasar adalah KUHAP tidak memberikan ruang kepada penuntut umum untuk bersikap aktif dan terlibat sedari awal dimulainya proses penyidikan yang dilakukan penyidik. Menurut Mardjono Reksodiputro, ruang pra penuntutan yang dintrodusir KUHAP hanya dilihat sebagai “kotak pos” pemindahan dokumen-dokumen antara penyidik dan penuntut (Mardjono Reksodiputro, 2007). Sehingga oleh karena tidak dibangunnya komunikasi yang intens sejak awal, lalu muncul ketidakselarasan antara penyidik dan penuntut umum terkait dengan hasil penyidikan, yang mana dimungkinkan terjadinya fenomena “bolak-balik berkas”.
Oleh karenanya menyikapi permasalahan tersebut, diperlukan ruang dimana penuntut umum memegang kendali dalam rangka mengkoordinasikan upaya penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti sehingga arah penyidikan dapat ditentukan sedari awal untuk memberikan hasil penyidikan yang optimal.
Pustaka:
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Kelima (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,2007)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H