Tarman menggaruk rambutnya yang macam sarang lalat. Ia melongo. Seberkas air liur masih tergurat di tepi bibirnya. Matanya sayu. Bibir itu terbuka, dan warga ada yang muntah di tempat.
“Jangan usir saya,” balasnya singkat.
Para warga bersitatap. Memang sepertinya orang ini sudah setengah waras. Ada yang mengangkat telunjuknya, memiringkannya di dahi memberi tanda.
“Saya janji, saya akan mencari parfum untuk penciuman kalian yang buruk sebab perihal rumah saya. Maaf, saya sangat minta maaf.” Kedua telapak tangannya menyatu, punggungnya sedikit membungkuk.
Warga bersitatap. Bingung. Toa itu ditekan kembali sakelarnya, mengeluarkan suara sumbang memberi keputusan. “Baik, kami beri waktu lima hari,” nadanya melunak. Setelah Pak RT berbisik-bisik pada ibu itu yang berlagak bak seorang pemimpin. Ia mengangguk pelan.
“Toh, lagipula saya rada kasihan. Pemulung itu sudah lama berbaur dengan sampah. Tapi, sama sekali tak ada yang mau membantunya,” ucap Pak RT di tengah perjalanan pulang. Berbincang-bincang dengan satpam dusun.
“Tapi saya juga masih bingung. Perasaan baunya dulu enggak pernah sebusuk ini.”
“Entahlah,” Pak RT mendongakkan kepala. “Tarman satu-satunya orang yang tidak pernah bahagia di kampung kita. Saya selalu memikirkan, kadang saya telah gagal menjadi seorang pemimpin.”
Dalam benaknya terlintas bayangan ibu-ibu tadi yang berkoar-koar menghina Tarman. Satpam dusun ikut mendongak. Mereka berdua melihat malam yang seharusnya waktu tidur untuk mata yang penat. Tak terkecuali Tarman, ia menaiki sepeda bututnya. Mencari toko parfum di tengah gelapnya dosa manusia.
***
Bunyi kreot-kreot yang berdengung di kelopak matanya tergenang air. Derit gerbang ruko yang baru dibuka tepat saat ayam Babe Murti berkokok. Sepeda itu tertanggal di sebuah tiang, dan matanya tertuju pada seonggok tubuh yang tergeletak di lantai persis babi guling.