TARMAN mencari parfum. Semenjak orang-orang dusun mengeluhkan adanya bau bangkai yang berseliweran dari dalam rumahnya. Mereka melakukan protes. Tarman bolak-balik menjelajahi sudut kampung untuk mencari parfum yang mampu menghilangkan bau anyir tersebut.
“Bener, Buk. Saya sampai mual-mual kalau lewat di jalanan itu,” ia menunjuk persimpangan yang tertancap pohon beringin. Sebelahnya adalah rumah Tarman.
“Percuma kalau tutup hidung, apalagi pakai masker. Mending, gak usah lewat sekalian!”
“Yaampun saya juga. Bahkan, meski naik motor baunya ngikutin kita sampai rumah. Demi Tuhan, saya muntah-muntah seharian,” timpal yang lain. Agaknya bau itu sudah seperti racun gas yang bisa menewaskan satu dusun.
Hingga malam berikutnya, ibu-ibu itu mencuri toa masjid. Dan mereka naik ke lantai atas rumah Syamsuddin – yang sekarang telah berpindah ke gang sebelah, lantaran bau rumah Tarman mulai membungkus deretan rumah disamping-sampingnya. Lelaki dengan sarung hijau kotak-kotak itu keluar, wajahnya semasam lemon busuk yang baru diperas. Menatap demo besar-besaran yang tengah mengepung depan rumahnya.
“Atas nama rakyat dusun, kami menghimbau agar pemilik rumah ini. Tarman! Segera pergi dari dusun demi kenyamanan dan kesejahteraan warga!”
“Ya! Betul!” teriak yang lain menyahuti.
“Kalau tidak. Maka maaf, kami terpaksa mengusir anda!”
“Ya! Usir saja dia! Usir!”
“Kami beri waktu semalam ini saja untuk segera mengemas barang-barang anda, dan secepatnya melangkahkan kaki dari tanah ini!”
“Ya! Cepat-cepat! Pergi!”