GUNAWAN dan kisah-kisah yang membelakangi latar hidupnya, ketika ia dihadirkan dalam ruangan yang gelap--membungkus hati yang sehitam malam. Ia memilih menyalakan sebatang lilin, menerangi seisi kamarnya yang sama sekali tidak diputus PLN. Gunawan akan terdiam selama kantuknya masih tertahan. Berjam-jam lelaki itu bermain dengan bayang-bayang. Seperti anak kecil, karena sejatinya ia tidak pernah menjadi kecil.
Pagi hitam kemarin, Gunawan berjalan menuju persimpangan jalan sambil membawa lembaran uang yang ia remas, remuk sudah uang itu dikepal bak adonan kue, Gunawan menjinjingnya kemana-mana tanpa alas kaki. Perlahan ia mendekati warung yang tirainya hampir tertutup, sang pemilik terlihat hendak pergi. Ia terbirit-birit mencegatnya di depan, menghadang.
"Lho, Gunawan?" pemilik warung terperangah, "Saya mau tutup warung, tidak melayani pembelian apa pun ya."
Gunawan semakin menggenggam kuat uangnya, tubuhnya bergemetar. Tentu ia tak ingin permintaannya ditolak.
"Baiklah," pemilik warung menghembuskan napas, toh lagipula Gunawan orang yang harus dikasihani selama ia tetap berada di muka bumi. Begitu kata orang-orang sekitar.
"Mau beli lilin lagi?" tanya pemilik warung tak heran.
Gunawan mengangguk. Batinnya berujar; mana ada orang yang tidak akan membeli lilin, jikalau ia tak ingin mendapatkan penerangan abadi, dan romansa dinding di dini hari?
Pemilik warung lantas membuka beberapa laci yang untungnya belum ia kunci, dengan tirai yang masih setengah terbuka, Gunawan mengetuk-ngetuk kakinya ke tanah becek bekas hujan--menunggu. Pemilik warung kembali dengan memegang tiga buah lilin, wajahnya kemudian sumringah. Senyumnya melebar saat lilin-lilin itu berada di dekapan Gunawan, selalunya setiap tiga hari sekali untuk tiga lilin yang kian meleleh dilahap waktu. Rumah yang dibaluti rasa cerianya, Gunawan bersenda gurau, percakapannya dengan tembok menjadi saksi.
Tak heran pula pemilik warung memandang tingkah aneh tetangganya yang menimbulkan cerita-cerita di masyarakat setempat. Gunawan orang lama di desa itu, walau kehadirannya dianggap sekadar orang gila yang mempunyai rumah cukup layak huni. Mereka tak perlu membawanya ke dinas sosial, atau rumah sakit sebab perilakunya tidak seagresif binatang buas. Untungnya Gunawan tidak menjadi beban.
Pemilik warung menutup semua yang terbuka, ia harus cepat-cepat pergi sebelum ada pembeli lain datang mengganggu perjalanannya menuju gereja kota. Hari minggu yang ia tunggu hampir kacau gara-gara ia terlambat dua jam sesaat misa sudah dimulai. Gunawan dalang dari semua ini. Pasalnya, Gunawan sering datang membeli lilin di setiap hari jumat, ia tak menyangka jika Gunawan datang di hari minggu yang dimana senantiasanya ia mengurung diri di kamarnya yang gelap. Pasti lilin-lilin kemarin belum habis dipakainya semalaman. Pemilik warung geram.
Lantas ia menghentikan angkutan umum yang melintas, Gunawan belum beranjak pulang, ia tertegun menatap warung miliknya. Lelaki itu terdiam selama beberapa menit ketika ia memilih duduk di pojokan, membuka jendela, dan melihat Gunawan yang tengah bergeming. Ia tak menoleh--membalikkan badan. Seketika tercium aroma tengik yang menyengat, membuat matanya membelalak.
Asap membumbung tinggi, kobaran merah melayang-layang terhembus angin mengitari atapnya. Terdengar bunyi reruntuhan, kebakaran itu dengan cepat melanda. Pemilik warung menjerit, ia langsung turun dari angkutan umum untuk memanggil-manggil warga sekitar. Sekiranya ia lupa mematikan kompor ketika selesai memasak untuk bekal yang akan ia bawa menuju gereja nanti.
Gunawan menjatuhkan lilin-lilinnya, tak disadari bulir-bulir air matanya meleleh pelan. Di tengah kerumunan yang huru-hara, Gunawan membeku. Terlempar dalam masa lalunya yang kelam. Ia memejamkan mata.
***
13 Mei 1998, Ruminah mengajak sahabatnya itu untuk membeli baju pengajian yang akan mereka pakai saat acara maulidan yang akan segera disenggelarakan sebulan lagi. Lemari-lemari mereka yang kumal, berdebu, kedua orang itu memilih untuk membeli pakaian baru serempak. Sering dikira orang-orang sekitarnya calon pasutri, namun mereka berdua berhasil mematahkan stigma jika persahabatan antar lawan jenis selalu berujung pada cinta. Mereka telah berteman dari lama, bahkan ketika mereka di dalam kandungan sebab orang tuanya pun bersahabat.
Gunawan kecil merengek pada ibunya minta dibelikan celana, baju dan peci untuk mengaji. Ruminah yang melihat hal tersebut lantas melakukan hal yang sama.
"Warnanya putih ya, ma, buat ngaji sama ustad Uung," kata Gunawan yang disambung Ruminah. Ibu kedua anak itu tersenyum, saling berhadap-hadapan, melihat tingkah anaknya yang persis layaknya lahir kembar.
Ibu kedua anak itu memutuskan untuk bergegas bersama-sama ke Pasar Klender ketika situasi di sejumlah tempat di Jakarta lengang, kerusuhan mulai terjadi di sejumlah tempat dan banyak toko-toko tutup. Sepi. Namun, untung saja mereka mendapatkan pakaian yang diharapkan anak-anaknya ketika pulang.
"Horee!" teriak Gunawan melompat-lompat girang, Ruminah lalu mencoba-coba pakaian barunya di depan cermin. Bergaya bak putri kerajaan arab seperti yang ia lihat di koran-koran milik ayahnya. "Cantik sekali," puji Ruminah pada dirinya yang tengah bersolek.
"Ini mau kita pakai pas kapan? Apa cuman dipakai waktu maulidan doang?" tanya Gunawan yang seakan memberikan tanda pada Ruminah untuk memamerkan ke teman-temannya yang lain. Ruminah berbisik, mereka akan melaksanakan aksinya di pengajian petang esok.
Sore sepulang mengaji, mereka berdua meminta agar celana dan baju putihnya tidak dicuci. "Jangan dicuci ya ma besok sore mau dipake lagi, baru sekali dipake masih wangi," kata Gunawan yang tersenyum membayangkan betapa asyiknya tadi ia bermain bersama Ruminah dengan pakaian yang sama. Bangga.
Disimpannya baju dan celana putih milik Gunawan di dalam laci plastik berwarna biru yang hanya dipakainya sekali seumur hidup.
Esoknya, Gunawan mengetahui adanya kerusuhan di sekitar Yogya Plaza saat ia pulang sekolah lalu segera Gunawan memberitahu pada ibunya yang khawatir salon miliknya yang berada di kompleks pusat perbelanjaan itu akan dijarah orang. Ibunya lantas bergegas menuju Yogya Plaza yang tak jauh dari kediamannya di Kampung Jati. Diikuti anaknya dan Ruminah yang memaksa pergi bersamanya.
Sesampainya di Yogya Plaza, salon milik ibunya berantakan dan banyak barang yang hilang. Dia pun memutuskan untuk kembali ke rumah. Namun saat itu pusat perbelanjaan sudah dipenuhi banyak orang yang membuatnya sulit untuk keluar. Gunawan bersama Ruminah melihat sebatang lilin yang tergeletak, ketika listrik tiba-tiba padam. Mereka menyalakannya, saling bermain bayang-bayang ketika ibu Gunawan lupa meninggalkan anaknya di dalam gedung.
Sontak ibu Gunawan lari menerobos lautan manusia, ia mencari-cari anaknya di seluk beluk salon miliknya yang hampir luluh lantak. Menarik Gunawan dan membawanya sejauh mungkin dari orang-orang yang menyelamatkan diri. Bau asap mulai tercium. Bagian belakang salonnya sudah terbakar. Gunawan berteriak membuat ibunya menoleh terkejut: "Ruminah!"
Ibu Gunawan membuat kesalahan besar, ia lupa bahwa yang ia bawa bukan hanya anak kandungnya seorang.
Tak lama setelah mereka keluar dari komplek pusat perbelanjaan, Gunawan mendengar suara ledakan dari dalam gedung.
***
Siraman air dari ember-ember milik warga yang berduyun-duyun memadamkan api yang semakin membesar. Pemadam kebakaran tak kunjung datang. Pemilik warung mengais-ngais tanah pasrah, warungnya habis dilalap. Ia menangis kencang.
Nampak salah seorang warga seketika tergelincir lantaran menginjak sebuah benda yang menggelinding di telapak kakinya mendarat. Tubuhnya basah tertumpahkan air yang dibawanya untuk memadamkan api.
"Sialan!" umpatnya kesal, "Siapa yang naro lilin di tanah kayak begini?" orang-orang pun  memperhatikannya sejenak.
Pemilik warung bergeming, ia bangkit menuju tiga lilin yang mencar. Lantas menoleh kebelakang, "Gunawan!"
Ah, pada hari itu seorang perempuan sama sekali tidak melihatnya yang sedang membawakan lilin untuknya spesial. Kue ulang tahun. Tepat pada tanggal 14 Mei dan kado-kado gembira lainnya, mereka lalu bermain bayang-bayang di dinding yang tak berujung seperti dulu. Lautan bergelombang.
"Kau rindu padaku?"
Gunawan tersenyum, "Bukankah aku selalu mengingatmu selama ini? Lihatlah, rumah itu sangat gelap! dan hanya disinari oleh pelitamu yang terang. Kau selalu ada dalam cahaya lilin-lilinku yang menyala, Ruminah."
Ruminah menggenggam erat tangan sahabatnya, lantas mengudara bersama bumbungan asap yang kian meninggi.
Orang-orang menghindar, pemilik warung melihat tubuh Gunawan yang hilang ditelan kabut serta api menyala. Mereka menarik pemilik warung jauh. Tak lama terdengar suara ledakan dari dalam. Berdentum!
***
Gagah Pranaja Sirat seorang pelajar SMA yang tengah banyak menulis dan mencari kebahagiaan melalui menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H