Sayang seribu sayang, setiap ruangan yang kita masuki selalu ada kotak sumbangan untuk kebersihan dan dijaga pula, yang selalu mengeluarkan kalimat “sumbangan Pak, Bu, buat kebersihan” itu dikatakan berkali-kali mengganggu pemandu wisata menerangkan sejarah dan juga mengganggu kenyamanan para turis, harusnya ini sudah termasuk dalam biaya tiket dan juga pemeliharaan cagar budaya yang dibiayai pemerintah baik dari APBN maupun APBD. Semoga nanti setelah tulisan ini terbit bisa dibaca oleh para pemegang kepentingan. Hal-hal kecil kadang mengganggu kenyamanan pengunjung, mengesankan mereka mengemis untuk biaya kebersihan.
Bapak pemandu wisata yang lupa ditanya namanya siapa, luar biasa pengetahuannya, selain memang karena pekerjaannya sebagai pemandu yang dituntut hafal sejarahnya keraton kasepuhan beserta pengiring dan tautan dengan yang lain serta silsilah dari zaman dahulu kal tapi dari gerak tubuh, tutur kata, bahasa tubuh bapak ini punya kelebihan lain, membuat kita yang mendengarkan sangat nyaman, tidak membosankan dan ingin terus bertanya ini itu, dari pertanyaan masuk akal sampai pertanyaan aneh bin ajaib.
Setiap sudut punya makna, setiap tempat punya kegunaan masing-masing. Kereta kencana yang umurnya sudah tua dengan nama ‘Kereta Singa Barong’ sudah berteknologi modern kala itu yaitu memiliki power sterring, shockbreaker, suspensi, menjadikan jalannya bisa belok 90 derajat layaknya mobil. Harusnya kita mampu mengembangkan teknologi tersebut tidak tergantung produk impor.
Ada museum senjata, ,museum gamelan, replika kereta kencana, sumur keramat, ruang singasana yang hanya bisa dilihat dengan cara diintip karena dibuka pada perayaan tertentu. Kalau soal kebersihan lumayan, perawatan bangunan terlihat cukup terawat dan baru mendapat kucuran dana dari pemerintah, semoga digunakan untuk hal yang bermanfaat.
Dibanyak tempat sekarang banyak disediakan wifi gratis, baik di penginapan, tempat makan, bahkan tempat ibadah, tapi karena kuota terbatas dan harus berebut dengan yang lain, dengan hadirnya Smartfren 4G LTE Advanced semuanya jadi mudah,untuk informasi lengkap bisa buka www.smartfren.com/4g, kita bisa bebas mengakses serta jauh lebih cepat.
Senja sudah datang, pengajian menjelang adzan magrib sudah terdengar, tepat didepan langgar keraton adzan berkumandang, perpisahan dengan bapak pemandu berlangsung didepan gerbang, sampai ketemu lagi bapak, semoga semakin banyak ilmu yang ditelurkan dan bermanfaat, semakin bangga akan kekayaan budaya negeri ini. Tujuan berikutnya kawasan wisata batik khas cirebon atau dikenal dengan Kampung Batik Trusmi.
Menuju Kampung Batik Trusmi perjalanan yang sedikit melewati perbatasan kota mengarah ke wilayah Kabupaten Cirebon, tepatnya daerah Plered, menurut informasi pertokoan sudah tutup sekitar pukul 5 dan 6. Nofa dan Hanita adalah butik batik yang dianjurkan rekan kerja saya dulu. Waktu yang sudah menunjukan pukul tujuh yang tersisa buka pusat grosir batik Trusmi, kamipun turun dan mulai cuci mata. Trusmi sendiri berasal dari nama Ki Gede Trusmi yaitu pengikut Sunan Gunung Jati yang mengajarkan seni membatik seraya menyebarkan islam. Kini di daerah Trusmi berjejer puluhan bahkan ratusan toko batik, ini mengingatkan kita akan Kampung Batik Laweyan di Solo.
ada harga ada rupa, ada harga ada rasa, kualitas memang ditunjukkan oleh harga , saat mata bersiborok dengan barang keren, jari tangan meraba halus, dan angka yang tertera lumayan membelakan mata, lumayan mahal. Batik Cirebon selain termasuk batik pesisir juga batik keraton karena ada dua Keraton di Cirebon yaitu Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Banyak jenis dari Batik Cirebon ini tapi yang lebih dikenal batik dengan nama Megamendung. Batiknya keren-keren sampai susah memilih.
Selain pusat grosir batik, disini terdapat pula oleh-oleh khas Cirebon, saya lihat ada kue gapit, kue khas Cirebon, seperti simping di daerah Purwakarta tapi ini bentiknya lebih kecil dan agak tebal, rasanya asin dan wangi dari taburan daun kucai serta kencur, beli lalu dimakan bersama-sama. Tiba-tiba teman menghampiri, katanya ada rujak kangkung didepannya minimarket sebelah pusat grosir, saya penasaran karena kangen sama makanan satu ini, ternyata sudah habis rujak kangkungnya, hanya tersisa gerobak kosong dan ceceran sisa kangkung. Rujak kankung termasuk makanan khas Cirebon juga, kangkung yang telah direbus di siram bumbu rujak yang ada petisnya, pokoknya nikmat. Walaupun hanya bisa menjelajah satu toko, cukup untuk berkunjung ke Trusmi, lain kali pilih waktu yang agak longgar, biar bisa sekalian ke Makamnya Ki Gede Trusmi.
Saatnya makan malam telah tiba, kami berencana cari tempat makan dalam perjalanan pulang ke hotel, di putuskan untuk makan di Empal Gentong Trucuk, yang lokasinya lumayan dekat ke hotel. Sampai ditempat, parkirnya penuh, jadi dapat yang agak jauh dan sampai di meja makan menu yang tersisa hanya empal gentong, empal asemnya sudah habis, sate sapi yang maknyus tersisa 17 tusuk. Biasanya yang dipikiran kita empal itu seperti gepuk kata orang sunda, kalau di cirebon punya cita rasa berbeda, empal gentong termasuk pada keluarga makanan berkuah, kuah kuning yang rempahnya lumayan menggugah selera, potongan bawang ganda atau daun kucai yang menjadi rasa yang merubah suasana mulut, soal daging atau isi kuah ada beberapa pilihan, boleh daging saja, boleh jeroan saja atau campur. Kerupuk kulit bisa jadi penyempurna rasa. Perut sudah terisi, badan mulai menggeliat karena pegal menyerang, saatnya istirahat. Besok akan diteruskan dengan wisata yang lainnya sambil pulang menuju kota masing-masing.
[caption caption="Empal Gentong Trucuk"]