Mohon tunggu...
Nur Dini
Nur Dini Mohon Tunggu... Buruh - Find me on instagram or shopee @nvrdini

Omelan dan gerutuan yang terpendam, mari ungkapkan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pelecehan Seksual pada Anak, Salah Siapa?

9 Agustus 2019   10:30 Diperbarui: 9 Agustus 2019   11:06 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hallo,
Pelecehan seksual pada anak diartikan sebagai suatu bentuk penyiksaan anak dimana orang dewasa menggunakan anak untuk rangsangan seksual (Wikipedia.org).  Pelaku lebih umum merupakan keluarga atau kenalan korban daripada orang asing.  Membahas tentang pelecehan seksual pada anak, saya pernah mendengar cerita kejadian ini menimpa kenalan saya, sebut saja A.  

Ibu  A ini memiliki anak perempuan ,saat itu masih SD, yang suka menumpang menonton TV di rumah tetangganya.  Pada siang hari, rumah tetangga A ini sepi dan hanya ada satu orang bapak-bapak.  Suatu hari, anak A, sebut saja Aster, bercerita pada A tentang yang dia alami selama nonton TV.  

A hanya menyarankan pada Aster untuk menonton TV di rumah tetangga lain.  A tidak langsung melapor ke polisi atau ke RT, dia hanya berusaha menghindari kejadian itu dengan meminta anaknya pindah tempat nonton TV.

Aster sempat menuruti permintaan A untuk menumpang nonton TV di rumah tetangga lain.  Tapi Aster dipanggil oleh pelaku dan diberi iming-iming uang atau jajanan.  Karena kejadian itu berulang beberapa kali, A jadi gelisah dan bingung.  Akhirnya dia bercerita pada beberapa tetangga dengan harapan akan ada yang membantunya.  

Benar saja, akhirnya ketua RT A melaporkan hal ini ke polisi.  Aster mendapat penanganan trauma pasca kejadian, pelaku dinyatakan bersalah dan dipenjara selama beberapa tahun, tapi sekarang sudah bebas.

Kejadian serupa juga menimpa kenalan saya, B.  Pada B kasus ini jadi lebih menakutkan karena pelaku dan korban masih di bawah umur.  Merinding saya kalau ingat cerita itu.  Jadi B ini masih muda, umurnya tidak jauh beda dengan saya.  

B saat itu baru memiliki satu anak perempuan.  Anak B, sebut saja Melati, memiliki saudara sepupu laki-laki yang usianya sekitar 3-4 tahun lebih tua.  Dengan saudara sepupunya, Melati tumbuh bersama, main, makan, dan jalan-jalan bersama.  

Melati bermain dengan teman dan sepupunya seperti biasa.  Tapi tiba-tiba Melati lari dan mengadu ke neneknya kalau sepupunya nakal.  Dari cerita Melati pada neneknya, diduga melati telah diperkosa oleh sepupunya yang masih SD.  

Nenek Melati makin panik saat menemukan bekas darah di celana Melati.  Mungkin karena gugup dan takut, nenek Melati malah mencuci pakaian Melati dan menggantinya dengan yang baru.  Hal itu menjadikan terhapusnya barang bukti.  Setelah melaporkan kejadian ini ke polsek, Melati dan sepupunya seingat saya sama-sama mendapat terapi dan konseling.

Ada yang berbeda pada kasus yang menimpa Aster dan Melati.  A sebagai ibu yang sudah lebih dewasa, seumuran ibu saya, mendandani anaknya dengan "normal".  Maksud saya kemana-mana anak itu pakai baju normal dan utuh.  Umumnya anak menggunakan kaos lengan pendek, celana selutut, ya Aster begitu.  Apa yang terjadi pada Aster menurut saya karena tetangganya saja yang memang punya niat buruk.  

Saya tidak bisa menyalahkan Aster yang ingin nonton TV, tapi di rumah tidak punya.  Saya tidak bisa menyalahkan apa yang dialami keluarga A. Keluarga itu kaya atau miskin, punya TV atau tidak, bukan hal yang bisa dipersalahkan.  Tapi saya bisa agak menyalahkan B.

Jadi B ini ibu muda, umurnya tidak jauh beda dengan saya.  Mungkin dia terlalu sering melihat gaya pakaian artis yang serba minim, dia sendiri ikut-ikutan dan membelikan anaknya pakaian yang serba minim juga.  Sering setelah mandi, Melati lari keluar rumah tanpa apapun.  

B hanya berteriak memanggil Melati dari dalam rumah, bukannya langsung menggendong Melati dan memaksanya masuk.  Banyak orang sudah menasihati B untuk tidak begitu, tapi B berdalih Melati lari sendiri.  Padahal kan kalau anak-anak bisa dicegah dengan berbagai cara.  

Orang yang menasihati B, jauh sebelum kejadian Melati, karena banyak melihat kejadian serupa di berita dan tidak ingin hal itu terjadi pada Melati. Tapi ya hati orang siapa yang tahu, B tetap bertahan pada keyakinannya kalau pakaian serba minim Melati itu lucu dan lari-lari tanpa pakaian itu tingkah lucu anak-anak juga.

Sekarang apa kabar Melati? Melati sudah SD.  Apa kejadian itu mempengaruhi Melati? Saya kurang tahu, saya rasa Melati normal-normal saja.  Apa kejadian Melati mempengaruhi ibunya? Saya jawab, tidak.  Setelah kejadian itu, Melati tetap berpakaian minim, dan sering telanjang.  

Saat Melati punya adik perempuan, ya sama saja.  Sepupu Melati sebagai pelaku mungkin mengetahui hal tersebut dari video porno, atau apa yang saya tidak tahu.  Tapi seandainya Melati tidak "hobi" berpakaian dan bertingkah seperti itu, mungkin hal itu tidak akan terjadi.  

Nasi sudah jadi bubur, tinggal kita pikirkan cara agar buburnya tetap enak.  Semoga cerita Melati tidak terulang pada orang lain.  Dan semoga ibu-ibu sadar kalau meskipun masih bayi, tidak seharusnya anak dibiarkan telanjang dan dilihat banyak orang.  

Karena setau saya, memperlihatkan foto anak telanjang saja sudah termasuk kekerasan pada anak, apalagi membiarkan orang melihat anak telanjang lari-lari sambil nari-nari.  Berpakaianlah yang baik dan pakaikanlah pakaian yang baik untuk anak kita. BYE!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun