Mohon tunggu...
M NovalAinoer
M NovalAinoer Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Hidup sehat seperti lary

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Politik Hukum Islam dalam Penentuan Batas Usia Perkawinan di Indonesia

21 Oktober 2022   22:31 Diperbarui: 21 Oktober 2022   22:56 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana yang termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam, tepatnya pada pasal 2 tentang perkawinan dikatakan "perkawinan menurut hukum islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanaannya meruapakan ibadah". 

Yang tentunya dalam melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat dan rukun dari perkawinan, yang salah satunya mengenai batas usia perkawinan. Belakangan ini perihal batas usia perkawinan menjadi isu yang kompleks, tidak hanya menjadi perhatian negara, tetapi menjadi kegundahan tersendiri, baik dari kalangan aktivis, akademisi hingga instansi. 

Artikel ini akan membahas tentang dinamika politik hukum islam dalam penentuan batas usia perkawinan di indonesia. Pada undang-undang nomor1 tahun 1974 telah diatur mengenai batas usia nikah yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Yang kemudian diperbaharui pada pasal 7 ayat (1) undang-undang nomor 16 tahun 2019 yang berbunyi "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita mencapai umur 19 tahun".

Indonesia merupakan termasuk ke dalam negara dengan presentase pernikahan dini tertinggi di dunia, menempati ranking 37 dunia. Dan tertinggi di ASEAN setelah kamboja. Hal itu di karenakan masih banyak masyarakat di indonesia yang menganut hukum adat masing-masing, khususnya di daerah pedesaan yang justru mengutamakan tafsir agama dan adat yang melatar belakangi perkawinan dini. 

Hal itu sangat bertentangan dengan keberadaan perundang-undangan tentang batas usia nikah. Sehingga sudah seharusnya tidak ada lagi pihak-pihak yang melegalkan pernikahan dini.

Dalam melangsungkan perkawinan harus dipertimbangkan mengenai kematangan emosi, ekonomi, pendidikan dan batas usia yang berdasarkan undang-undang yang berlaku. Hal tersebut akan berpengaruh dalam menyikapi sebuah problem yang pasti ada dalam sebuah ikatan rumah tangga. 

Banyak pengaruh negatif dari pernikahan dini diantaranya dapat menyebabkan anak putus sekolah sehingga haknya untuk mengenyam pendidikan yang layak menjadi terputus dan berdampak pada rendahnya tingkat pengetahuan pada anak. 

Pengaruh kedua biasanya anak yang masih dibawah umur sebagian besar belum mempunyai penghasilan yang cukup bahkan belum ada yang bekerja, sehingga rentan terjadi kemiskinan. Yang ketiga terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang didominasi oleh pasangan yang belum matang secara psikis dan mudah emosi. 

Yang terakhir berkenaan dengan kehamilan di usia dini berdampak pada kesehatan psikologis anak. Masih banyak lagi dampak negatif dari pernikahan dini. Yang semua itu berakibat pada usia pernikahan yang rentan terjadi perceraian.

Dinamika penentuan batas usia perkawinan di Indonesia terjadi pada tanggal 6 September 2019 yang pada saat itu terbit surat presiden tentang pembahasan perancangan undang-undang perkawinan. Perubahan undang-undang perkawinan dengan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22/PUU-XV/2017 yang merevisi undang-undang nomor 1 tahun 1974 menjadi undang-undang nomor 16 tahun 2019 pasal 7 ayat 1 yang berbunyi "perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun". 

Keputusan ini disetujui pada rapat panitia kerja (PANJA) Baleg DPR RI dengan kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (Kemen PPPA), Kementrian Agama, Kementrian Kesehatan, dan Kementrian Hukum dan HAM.

Kesimpulan dari musyawarah mengenai Rancangan Undang-Undang perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang disetujui dalam rapat PANJA, berhubungan dengan pasal 7 ayat 1 sampai dengan 4, antara lain sebagai berikut:

1. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.

2. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap umur sebagaimana dimaksud pada ayat 1, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

3. Pemberian dispensasi oleh pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.

4. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana dimaksud pada pasal 6 ayat 3 dan 4 berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun