Baca juga: Pemimpin Lahirkan Budaya Organisasi
3. Tingginya tingkat perpindahan atau absensi dari para karyawan perusahaan. Brayfield dan Crockett dan Vroom dalam penelitiannya menemukan hubungan yang konsisten antara ketidakpuasan dengan penarikan diri dalam bentuk perpindahan atau absensi. Para pekerja yang tidak puas dengan pekerjaannya lebih mungkin menyingkir atau pindah dibanding para pekerja yang puas. Fenomena yang sama juga dapat ditemukan pada guru-guru di sekolah.
4. Para anggota organisasi tidak memahami dan menghayati bahkan mungkin tidak mengetahui nilai-nilai pokok dari budaya organisasinya. Kebijakan yang dibuat oleh pihak manajemen tidak selaras dan sejalan dengan nilai-nilai pokok tadi, sehingga upaya penginternalisasian nilai-nilai tersebut kepada para anggota organisasi menjadi semakin kabur dan tidak terarah.
5. Tidak adanya kerangka kerja untuk komunikasi internal di antara staf, sehingga sulit menyatukan perilaku individu ke dalam kerja sama tim, terjadi saling lempar tanggung jawab di antara para personil, terbentuk kelompok-kelompok primordial, berkembangnya apatisme dalam merespon munculnya, dan tidak ada motivasi untuk menciptakan sikap positif terhadap perubahan.
6. Sistem kepemimpinan tidak memungkinkan untuk identifikasi, penentuan prioritas, dan eksploitasi peluang, tidak memberikan pandangan objektif atas masalah manajemen, tidak merepresentasikan kerangka kerja untuk aktivitas kontrol dan koordinasi yang lebih baik, masih tingginya efek dari kondisi dan perubahan yang jelek, dan tidak memungkinkan agar keputusan besar dapat mendukung dengan lebih baik tujuan yang telah ditetapkan.
Indikator-indikator di atas perlu ditengarai dan dikaji secara cermat, apalagi ketika lingkungan organisasi tersebut sedang menghadapi perombakan besar-besaran dan perubahan drastis, seperti: berlakunya peraturan-peraturan baru, mengalami likuidasi atau akuisisi, penggabungan dengan perusahaan lain, pergantian status, dan sebagainya.Â
Hal ini berlaku juga bagi suatu organisasi yang memiliki tingkat persaingan yang amat ketat atau sangat bergantung pada teknologi, apalagi bagi organisasi yang sudah hampir runtuh di mana keadaan organisasinya pada waktu itu sudah memasuki stadium hampir tidak dapat tertolong lagi.
Baca juga: Transformasi Budaya Organisasi dalam Menghadapi Pandemi Virus Covid-19 di Sektor Bisnis dan Publik
Ketika pemimpin menyadari dan mengetahui bahwa budaya di dalam organisasinya sudah perlu dirubah untuk mendukung kesuksesan dan perkembangan organisasi, maka perubahan itu harus dijalankan. Persoalannya adalah ternyata untuk melakukan perubahan budaya organisasi bukanlah pekerjaan yang mudah.Â
Mengubah budaya organisasi merupakan pekerjaan yang sulit karena budaya organisasi ini dapat diibaratkan seperti gen atau DNA-nya sebuah organisasi, maka bagaimana kita dapat mengubah budaya organisasi? Di samping itu pertanyaan lainnya lagi adalah bukan kapan kita mengubah budaya organisasi? sementa budaya organisasi itu secara otomatis dan melekat sudah berproses secara berkesinambungan yang harus dilakukan oleh setiap organisasi. Maka pertanyaannya yang benar adalah bagaimana dalam proses tersebut kita dapat mentransformasikan budaya yang sudah menjadi usang tersebut menjadi budaya baru yang lebih kuat!
Perubahan budaya dapat membutuhkan adanya perubahan nilai-nilai, namun apabila ternyata nilai-nilai itu merupakan nilai-nilai yang kokoh dan universal serta sudah teruji keampuhannya dalam mempertahankan eksistensi suatu organisasi tersebut, maka mungkin yang harus dilakukan adalah bukan mengganti nilai-nilai tersebut, melainkan perubahan dalam cara menafsirkan terhadap nilai-nilai tersebut hingga dapat dijelmakan menjadi perilaku yang konstruktif dan produktif dengan dibekali kompetensi yang relevan sesuai dengan konteks zamannya.Â