Mohon tunggu...
Mas Nuz
Mas Nuz Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis biasa.

hamba Alloh yang berusaha hidup untuk mendapatkan ridhoNya. . T: @nuzululpunya | IG: @nuzulularifin

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Fiksi Lebaran | Pulanglah, Nak!

1 Juni 2019   22:39 Diperbarui: 1 Juni 2019   23:11 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada harapan di depan sana. (dok. pribadi)

Lelaki tua tampak serius memandangku. Beberapa kali aku lirik. Pandangan yang masih sama. Risih sebenarnya. Tapi itu hak dia.

Toh dia duduk di kursi tunggu ini lebih lama dariku. Aku coba menghibur diri sendiri. Mengamati satu demi satu bus yang lalu-lalang. Mencoba mengalihkan pandangan lelaki tua itu.

Beringsut aku menuju deretan kursi tunggu lainnya. Menjaga jarak lebih jauh. Sebab pandangan lelaki itu. Seolah menusuk jantungku.

Entahlah. Lelaki tua yang seolah pernah datang dalam mimpiku. Tapi aku patah ingatan. Dia sedang apa. Atau aku sendiri sedang apa.

Jam dinding menunjukkan jam 12.20. Para mandor bus saling berteriak. Menawarkan bus antar kota yang dia 'asuh'. Sementara beberapa calon penumpang. Bergegas naik ke bus. Saat bus membukakan pintu. Mencari tempat duduk terbaik tentunya.

Terminal Giwangan siang ini cukup teduh. Meski tetap tak mengurangi kegerahanku. Tak menghibur kegalauan hati ini. Sejak kemarin sore dan sore sebelumnya.

Semua 'anak kos' tempatku sudah mudik semua. Tinggal aku. Menjadi penghuni terakhir. Menjadi juru kunci. Yang tak tahu harus mudik ke mana.

Sejak aku tinggalkan mereka. Kampungku serasa bukan kampung lagi. Tiga kali lebaran aku pulang. Tiga kali pula seolah mereka mengacuhkanku. Bahkan terkesan merendahkanku.

Aku tahu itu pasti terjadi. Aku sendiri cukup memakluminya. Setelah semua peristiwa yang aku alami. Menyia-nyiakan kesetiaan seorang isteri. Menafikan rasa sayang dari anak-anak kami. Demi seorang perempuan. Yang aku sendiri sebenarnya tak begitu mengenalnya.

Aku tebus rasa bersalahku. Meninggalkan kediaman kami. Setelah berpuluh tahun membangun mahligai kebahagiaan. Hingga enam orang anak meramaikan rumah kami.

Kalah. Hanya perasaan itu yang aku rasakan. Meski isteri dan anak-anak tak pernah terlihat marah. Sikap diam dan dingin. Cukuplah menjadi hukuman terberat untukku.

"Maafkan aku ya, Mah. Sampaikan maafku juga ke anak-anak," hanya kalimat itu yang mampu meluncur dari mulutku. Isteriku hanya diam terpaku. Dingin. Isteri cantikku yang biasanya tak pernah cemberut padaku. Apalagi sampai bersikap acuh tak acuh.

-----------------

"Pulanglah, Nak!" Tiba-tiba lelaki tua itu sudah berada di sampingku.

"Pulanglah, Nak! Atau kamu akan menyesal selamanya. Seperti apa yang bapak alami ini."

Tiba-tiba lelaki tua di sampingku terdiam. Matanya nanar memandang ke depan. Seolah ada sesuatu kegamangan di depan sana. Yang aku sendiri mungkin saat ini merasakannya.

"Hampir tiga jam bapak perhatikan. Ananda duduk-duduk saja di sini. Sama seperti yang bapak lakukan," kembali lelaki itu berbisik ke arahku.

"Pernah bapak 20 tahun tak pulang. Saat terakhir pulang lebaran kemarin. Semua telah pergi. Semua telah pergi..."

Sekelebat, aku lihat wajah tulus itu. Lelaki 70-an tahun. Nampak gurat-gurat ketampanan yang masih membekas. Meski kini nampak sedikit kusam.

"Saat bapak beranikan pulang kemarin. Ternyata isteri dan anak-anak tak lagi tinggal di kampung. Tak seorangpun tetangga yang tahu pergi ke mana." 

Nampak kemudian punggungnya terguncang keras. Sambil mengatupkan tangan ke wajah. Lelaki itu mencoba menahan tangisnya. Yang mungkin sudah pecah. Hingga refleks, tanganku mengelus punggung lelaki itu.

"Bapak akan pulang hari ini, Nak. Meski tak ada siapa-siapa di rumah. Sambil berdoa, semoga keajaiban itu ada." Sambil terisak, ucapan lirih itu menyeruak diantara jari-jemarinya. Yang telah basah dengan air mata.

Aku masih saja terdiam. Mengumpulkan keyakinan. Menyusun serpihan-serpihan keyakinan.

"Aku akan pulang, Pak," bisikku.

"Aku akan pulang, Pak. Seperti tahun kemarin. Sambil berdoa. Semoga keajaiban itu ada."

"Aamiin," sergah lelaki tua itu. Telapak tanganku diraih. Dijabatnya erat-erat. Seolah-olah memberi semangat baru kepadaku.

"Pulanglah, Nak. Maafkan bapak ya! Sempat membuatmu tidak nyaman." Lalu lelaki itupun segera berdiri. Menepuk-nepuk pundakku. Kemudian segera beranjak pergi. 

Cepat sekali lelaki tua itu hilang dari pandanganku. Atau memang mataku yang terlalu lelah. Setelah semalaman tak tidur. Begitu panjang dan lama menimbang hati.

Ah, Pak Tua. Siapakah dirimu? Apakah itu diriku sendiri? 20 tahun yang akan datang.

------------

Jogja, 26 Ramadan 144o H.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun