"Bapak akan pulang hari ini, Nak. Meski tak ada siapa-siapa di rumah. Sambil berdoa, semoga keajaiban itu ada." Sambil terisak, ucapan lirih itu menyeruak diantara jari-jemarinya. Yang telah basah dengan air mata.
Aku masih saja terdiam. Mengumpulkan keyakinan. Menyusun serpihan-serpihan keyakinan.
"Aku akan pulang, Pak," bisikku.
"Aku akan pulang, Pak. Seperti tahun kemarin. Sambil berdoa. Semoga keajaiban itu ada."
"Aamiin," sergah lelaki tua itu. Telapak tanganku diraih. Dijabatnya erat-erat. Seolah-olah memberi semangat baru kepadaku.
"Pulanglah, Nak. Maafkan bapak ya! Sempat membuatmu tidak nyaman." Lalu lelaki itupun segera berdiri. Menepuk-nepuk pundakku. Kemudian segera beranjak pergi.Â
Cepat sekali lelaki tua itu hilang dari pandanganku. Atau memang mataku yang terlalu lelah. Setelah semalaman tak tidur. Begitu panjang dan lama menimbang hati.
Ah, Pak Tua. Siapakah dirimu? Apakah itu diriku sendiri? 20 tahun yang akan datang.
------------
Jogja, 26 Ramadan 144o H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H