Menjaga wudhu, shalat tepat waktu, cinta rakyat sepenuh hati.
Sebuah kalimat pendek. Sederhana namun penuh makna. Semua tentara di negeri ini, pasti tahu siapa yang mengucapkan. Bapak Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang jasanya tiada tara. Bagi eksistensi republik ini.
Beliau adalah Jenderal Soedirman (Sudirman). Petuah-petuahnya kini menjadi doktrin pengabdian TNI. Tertulis di Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman, Jl.Bintaran Pakualaman Yogyakarta. Museum yang seharusnya banyak menjadi jujugan generasi muda saat ini.
Lahir di Desa Rembang, Bantarbarang, Purbalingga pada 24 Januari 2016. Berlatar belakang keluarga Muhammadiyah menjadikan beliau pribadi yang taat menjalankan ibadah. Sekaligus tumbuh dan kembang dalam organisasi kepanduan Hizbul Wathan. Hingga menjadi pemimpin organisasi kepanduan se-Karesidenan Banyumas.
Mendapatkan pendidikan akademik yang sangat baik. Untuk ukuran remaja seusianya. Diantaranya adalah di HIS, MULO Wiworotomo, dan HIK Muhammadiyah Solo. Sementara pendidikan militernya digembleng oleh Suwarjo Tirtosupono hingga menjadi Daidanco.Â
Karir militernya mulai terlihat cemerlang. Memimpin Divisi V/TKR Purwokerto untuk memimpin pertempuran di Ambarawa. Selamat 4 hari 4 malam memimpin pertempuran melawan sekutu. Tentu saja jumlah tentara yang tak seimbang. Ditambah alat tempur yang minim. Harus menghadapi pasukan sekutu dengan semua kelebihannya.
Tak Supit Udang menjadi fenomenal. Taktik yang juga pernah dilakukan oleh Salahuddin Al-Ayyubi saat Perang Salib. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh pasukan Jenderal Sudirman. Ini pula yang membuat Jenderal Gatot Soebroto semakin kesengsem dengan perwira muda ini.
Puncaknya adalah ketika beliau harus mempertahankan republik ini. Dimana ibu kota Yogyakarta sempat jatuh ke tangan Belanda. Bersama Kolonel AH. Nasution, dan  LetkolSoehart0 menyusun siasat operasi Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949. Menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih eksis. Ada dan cukup kuat untuk mendukung diplomasi di DK PBB.
Mengingat jumlah tentara saat itu yang tak sampai 500 orang. Beliau putuskan untuk melaksanakan perang gerilya terhadap Belanda dan sekutu. Selanjutnya rute yang dilewati kemudian lebih dikenal dengan Rute Gerilya Sudirman. Melintasi beberapa daerah di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan perjuangan. Met of zonder pemerintah, TNI akan berjuang terus.
Meski tubuh beliau bertambah ringkih akibat sakit TB kronis. Beliau tak begitu menghiraukanya. Meski tanpa dukungan pemerintah, beliau tetap berkeyakinan. Bahwa jika tentara eksis, pemerintah pun eksis. Hal inilah yang membuat Belanda kalang-kabut. Mati kutu. Perang gerilya yang beliau kobarkan, mendapat perhatian di luar negeri.Â
Sayang, Allah Ta'ala lebih mencintai beliau. Saat negeri ini sudah lepas dari pergolakan Agresi II. Beliau wafat. Meninggalkan nilai-nilai perjuangan bela negara yang tak akan lekang oleh waktu.
Sepantasnyalah generasi muda Indonesia mengenal lebih dekat sosok beliau. Yang mengabdikan jiwa dan raganya untuk eksistensi negeri ini. Bukan untuk eksistensi partai atau golongannya saja.
Karena kewajiban kamulah untuk tetap pada pendirian semula. Mempertahankan dan mengorbankan jiwa untuk kedaulatan negara dan bangsa kita seluruhnya.
Lahumul fatihah...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H