Kepada Yth.
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
di Jakarta
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sebelumnya saya mohon maaf Pak Menteri. Mungkin tulisan saya ini jauh dari kesan keren dan santun. Tapi izinkan saya sampaikan curahan hati saya ini. Oh ya, maaf sekali lagi. Saya tidak menyebutkan Bapak dengan nama. Sebab siapa tahu, sebentar lagi Bapak akan digantikan oleh pria lain sebagai Mendiknas RI. Biarlah saya tetap menyebut dengan sebutan Pak Menteri. Sama dengan sebutan pejabat lainnya, yang biasa dipanggil Pak Bupati atau Bu Walikota oleh pihak protokoler.
Masalah yang saya hadapi ini sebenarnya sepele. Tapi menjadi tidak sepele jika menyangkut kebijakan nasional. Sepele sebab 'cuma' urusan selembar ijazah. Tidak menjadi sepele sebab yang mengeluarkan ijazah ini adalah institusi Bapak. Ijazah sekolah resmi yang bernaung di bawah Kemendiknas RI, dimana Bapak menjadi meneterinya.
Anak saya bernama 'Indy Nurul Auliya' Putri Zulfah (NISN: 9992481387). Alumni dari MTs Muhammadiyah di Paciran Lamongan Jawa Timur. Â Saat ini sedang menempuh pendidikan di sebuah SMA non-negeri di Sleman, DIY. Saat mendaftarkan diri dan mengikuti seleksi ujian masuk sekolah menggunakan Surat Keterangan Kelulusan (Pengganti Sementara Ijazah).
Yang menjadi keheranan saya, ketika kemarin saya menanyakan ihwal ijazah MTs anak saya, jawaban dari kepala sekolah membuat saya sedih. Ternyata ijazah MTs anak saya yang telah lulus  bulan Juni 2014, sampai sekarang belum kelar. Sudah empat (4) bulan ternyata ijazah anak saya belum beres juga.
Sebenarnya saya menanyakan ihwal ijazah tersebut, untuk membantu proses penandatangan ijazah. Sebab lokasi sekolah/pondok pesantren Mts lumayan jauh dengan sekolah/ponpes yang sekarang. Bisa saja sebenarnya saya cuek dengan keadaan itu. Tapi sayang, saya bukan termasuk orangtua yang bisa cuek dengan perjalanan pendidikan dan kepengasuhan anak saya.
Bapak Menteri mungkin tidak tahu hal ini. Mungkin laporan yang disampaikan kepada Bapak, pastilah laporan yang baik-baik saja. Pihak humas atau bagian data informasi, pasti 'menyembunyikan' kasus nasional yang tak pernah diungkap ini. Sebab semua lagi disibukkan urusan yang lebih menasional, yaitu urusan pilihan presiden. Sehingga urusan 'kroco' model begini tak perlu ditanggapi secara serius.
Saya jadi bingung dan heran saja. Apakah sangat sulit untuk menyediakan selembar ijazah bagi siswa di republik ini? Ataukah harus perlu hutang dulu kepada lembaga donor luar negeri? Karena negeri ini sudah tak mampu lagi membiayai ongkos pengadaan ijazah bagi anak negerinya? Jangan begitu dong Bapak.
Anak saya adalah anak yang begitu mencintai negerinya. Apakah sejak dini mereka sudah diajari oleh para pembesarnya untuk tidak disiplin? Setelah mereka bersusah payah mengerjakan Ujian Nasional dengan ancaman tak lulus, akan menghadapi ancaman baru? Ancaman ijazah yang tak akan dikeluarkan. Sebab pemerintah telah lupa menunaikan kewajiban kepada anak negerinya.
Harusnya Bapak malu. Saat ke sana- ke mari memberikan wejangan yang baik-baik. Sementara mengurus hal 'kroco' saja Bapak telah gagal. Tsumma na'udzubillah, apakah Bapak tidak takut menghadapi pertanyaan akhirat nanti? Bahwa dengan jabatan Bapak telah mendzolimi anak negeri yang tak berdosa ini?
Kalau toh memang Bapak tak sanggup. Kan masih bisa meminta tolong kepada Pak SBY. Sebab beliau adalah Presiden Republik Indonesia yang masih memiliki kekuasaan penuh untuk memerintah negeri ini. Perintahkan kepada siapa saja yang bisa menyiapkan ijazah dalam waktu satu minggu. Saya yakin, dengan kecanggihan bangsa ini, 10 jutaan lembar ijazah pun bisa dibuat dalam waktu seminggu. Lalu seminggu untuk mendistribusikan. Seminggu lagi untuk mengisi, menandatangani dan menyiapkan fotokopi legalisir. Seminggu kemudian membagikan kepada yang berhak menerima.
Cuma sebulan sebenarnya Bapak untuk membereskan urusan 'kroco' ini. Jangan lagi kami disodori berbagai alasan yang tak masuk akal. Bahan kertas belum tersedialah. Tender belum dilakukanlah. Atau bla bla bla yang kami tak butuh itu semua. Semua kewajiban telah kami tunaikan. Biaya UN dan tetek bengek pun telah kami bayar lunas. Meski kami harus berhutang untuk membayar itu.
Sekali lagi maaf Bapak. Curhatan saya terlalu panjang. Sebab untuk kedua kali saya dikecewakan oleh Bapak. Setelah setahun sebelumnya menggantung Ijazah Kejar Paket A anak saya yang mondok di Gresik Jawa Timur. Saya biayai anak saya tidak dengan bantuan BOS, Bapak. Apakah salah jika saya menuntut?
Akhir kata, semoga Bapak dimudahkan untuk menjawab pertanyaan saya ini. Mungkin banyak PR besar Bapak. Tapi saya mohon, selesaikan PR kecil ini terlebih dahulu. Matur nuwun.
Jazaakumullah khairan.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Hormat saya,
Mochamad Nuzulul Arifin
NB: Surat ini saya sampaikan secara terbuka. Sebab saya yakin, meski terbuka begini, Â belum tentu akan sampai juga di meja Bapak. Sebab telah disensor terlebih dahulu oleh para staff Bapak di ring I atau ring II.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H