Mohon tunggu...
Nuzul Mboma
Nuzul Mboma Mohon Tunggu... Peternak - Warna warni kehidupan

Peternak ayam ketawa & penikmat kopi nigeria.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hutang

26 Desember 2018   11:01 Diperbarui: 14 Oktober 2021   11:46 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara langkah kaki terdengar dari kejauhan, mesin mobil buatan jepang dimatikan tepat di bawah pohon ketapang. Ayam dan anak-anaknya menjauh dari mobil itu. Suara burung kutilang terdengar merdu sedangkan di ufuk timur cahaya matari dari sela rumah warga siap menerangi seluruh penjuru isi bumi. 

Terlihat 4 orang pria berbaju seragam biru bergaris putih melangkahkan kaki ke arah perkampungan kumuh di pinggiran kota.
Orang pertama bertemu beberapa bocah ingusan yang hendak berangkat ke sekolah dan bertanya: "Adik, kalian tahu dimana rumah ibu intang?"
"Hmm itu disana rumah terakhir di lorong buntu, jawab salah seorang bocah berpakaian pramuka sambil mata dan telunjuknya mengarah ke ujung kampung."


Para lelaki penghuni perkampungan pinggiran kota ujung pandang telah berangkat saban hari ke pelabuhan, mayoritas adalah buruh pengangkut barang dan pedagang asongan yang menyandarkan nasibnya ketika kapal berlabuh. Seringkali kampung di pagi hari cukup sepi dan hanya menyisakan ibu-ibu serta bocah-bocah yang akan berangkat ke sekolah. 

Helm kuning yang digunakan 4 orang itu membuat hampir seluruh warga kampung tahu jika orang itu petugas listrik negara kota yang sering mendatangi rumah penduduk yang menunggak biaya listrik. Mereka menghentikan langkah di depan rumah terakhir. 

Ditangan mereka digenggamnya peralatan listrik dan sebuah map merah berisi nama-nama penunggak listrik. Bu intang mungkin termasuk salah satu di dalamnya.
Orang kedua mengetuk pintu rumah sesuai petunjuk bocah tadi.
"Selamat pagi. Assalamualaikum. Ada orang di dalam?"
Seorang perempuan berdaster dengan rambut sebahu terikat karet, wajah oval tanpa bedak, dia sedang menonton siaran tv dakwah pagi ketika ketukan ke 7 sampai ditelinganya.
"Iya walaikumsalam. Siapa ya...Tangan kanannya menarik pintu dan kakinya menyeret dua buah batu-bata pengganjal di belakang pintu."
"Apakah betul ini rumah bu intang?"
"Iya, saya intang".
"Kami membawa mandat negara sesuai aturan baru yang di-sah-kan bahwa ibu salah satu warga yang menunggak pembayaran listrik bulan kedua,ujar orang pertama."


Orang ketiga menambahkan: Besok adalah batas terakhir, jika ibu tak membayar -tiga ratus ribu rupiah- kami sebagai perpanjangan tangan negara yang bekerja di bawah payung dan hukum negara akan mencabutnya tanpa segan!"
"Tapiii....pak maaf, sekarang ini saya belum punya uang, Bu Intang membalas dengan suara datar dan matanya menghadap ke tanah."
 
Fatwa yang keluar dari mulut pegawai listrik itu bagaikan silet yang diiris di telapak tangan Ibu intang. Kedua tangannya yang tak pernah lepas dari pengharapannya melalui doa-doa sepanjang waktu. 

Semua saluran tv nyaris tak pernah lepas dari matanya terutama siaran bertema religi yang di isi para ahli agama kontemporer. Kini dia harus berpikir sekeras-kerasnya tanpa harus mengandalkan upah suaminya yang hanya buruh pelabuhan pengangkat barang penumpang ketika kapal bersandar.


Meninggalkan desa satu dekade lalu demi sebuah harapan terang menurut kata tetangga-tetangganya yang lebih awal bersandar ke kota. Nyatanya, kota tak seperti keinginannya. hanya mimpi nya terus dinyalakan menjalani kehidupan. 

Mukhtar, Burhan dan Suami Bu Intang, mereka buruh pelabuhan yang setiap malam menghabiskan waktu bermain kartu di bilik pos ronda saat pelabuhan sepi tanpa kapal pelni.

Suatu malam suami bu intang dibuat kaget oleh pemberitaan di tv pos ronda yang menampilkan ketua Dewan Perwakilan Masyarakat-Negara diatas mimbar istana terkait peraturan kelistrikan.

Beberapa bulan lalu negara mengeluarkan dekrit peraturan baru demi menertibkan segala masyarakat untuk meningkatkan pendapatan negara.
"Peraturan baru ini bagaikan kobaran api yang membakar seluruh perkampungan nusantara -kampung Ibu Intang. Perkampungan yang dihuni para buruh,hostes, gembel dan perantau dari pelosok kampung di penjuru selatan sulawesi."

Kampung nusantara dulunya bagian salah satu denyut perekonomian kota era kolonial. Diseberang jalan bangunan rumah klasik bergaya belanda, rumah ibadah tionghoa masih nampak meskipun kini jadi puing sejarah. 

Suami bu intang berangkat kerja ke pelabuhan sewaktu langit masih merah di timur jauh dan bau air laut tercium oleh hidung yang terbawa angin. Tepat pukul 05.35 . jejak langkah kakinya membuat bekas dijalan yang masih basah. Tak hanya bekas kakinya tapi puluhan bekas kaki pekerja lainnya menuju tempat yang sama. Pelabuhan.

Di suatu hari ombak menjilat-jilat tepian dermaga, kapal bergantian bersandar di waktu tertentu saat menjelang hari raya besar agama, arus balik cukup padat. Membuat saku celana suami bu intang dan beberapa buruh harian terisi penuh dengan uang. Tangannya dimasukkan ke saku kanan dan menghitung puluhan ribu dari segepok uang di kedua tangan kumalnya.

Tampak dari keramaian penumpang kapal dari pintu keluar, dia mencegat burhan yang masih menggendong koper penumpang di bahu kanan.
"Kamu membawa pulang uang berapa banyak burhan?"
"Nggg- sepertinya cukup untuk hidup seminggu, jawab burhan."

Selain pekerjaan di pelabuhan tak menentu, mengepul kerang dan bintang laut di bibir pantai jadi penghasilan tambahan suami bu intang saat hari tertentu.. Disaat pasang surut air sebatas
mata kaki di pertengahan bulan.
Seperti seragam kemarin, petugas listrik negara datang memutuskan kabel dan memadamkan listrik rumah sepasang kekasih. Tunggakan belum juga dibayar. "Kami hanya menjalankan tugas, datanglah ke kantor membayar tunggakan dan menemui pimpinan, petugas menatap dua pasang mata didepannya."

Intang mengerti negara mempunyai kekuatan apapun tanpa mempertimbangkan dasar kemanusiaan. Suaminya mengenggam erat tangan kiri istrinya didepan pintu sebuah rumah tempatnya berlindung, menatap kosong delapan langkah kaki petugas listrik negara yang menuju ke mobil.
"Sayang, tidak kah kita membayar listrik secepatnya agar rumah kita bisa terang kembali, berbicara disamping istrinya."
"Belum sekarang, adikku meminjam uang tabungan kita, jawab intang."

Intang menyambung...tiga hari lalu ketika kau berangkat kerja adikku datang kemari memohon dipinjamkan uang untuk membayar hutang di rentenir."
Suami bu intang tetap terdiam, melangkah masuk kedalam. Intang menutup pintu rumah.
Sebentar lagi malam akan datang, hiduplah sepasang kekasih tanpa cahaya dalam rumah. Hanya hati yang terang dan benda-benda di angkasa yang menyinari rumah gubuknya.

Makassar, 26 Desember 2018
Salam,
nuzul mboma

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun