Mohon tunggu...
Nuzul Mboma
Nuzul Mboma Mohon Tunggu... Peternak - Warna warni kehidupan

Peternak ayam ketawa & penikmat kopi nigeria.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hutang

26 Desember 2018   11:01 Diperbarui: 14 Oktober 2021   11:46 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kampung nusantara dulunya bagian salah satu denyut perekonomian kota era kolonial. Diseberang jalan bangunan rumah klasik bergaya belanda, rumah ibadah tionghoa masih nampak meskipun kini jadi puing sejarah. 

Suami bu intang berangkat kerja ke pelabuhan sewaktu langit masih merah di timur jauh dan bau air laut tercium oleh hidung yang terbawa angin. Tepat pukul 05.35 . jejak langkah kakinya membuat bekas dijalan yang masih basah. Tak hanya bekas kakinya tapi puluhan bekas kaki pekerja lainnya menuju tempat yang sama. Pelabuhan.

Di suatu hari ombak menjilat-jilat tepian dermaga, kapal bergantian bersandar di waktu tertentu saat menjelang hari raya besar agama, arus balik cukup padat. Membuat saku celana suami bu intang dan beberapa buruh harian terisi penuh dengan uang. Tangannya dimasukkan ke saku kanan dan menghitung puluhan ribu dari segepok uang di kedua tangan kumalnya.

Tampak dari keramaian penumpang kapal dari pintu keluar, dia mencegat burhan yang masih menggendong koper penumpang di bahu kanan.
"Kamu membawa pulang uang berapa banyak burhan?"
"Nggg- sepertinya cukup untuk hidup seminggu, jawab burhan."

Selain pekerjaan di pelabuhan tak menentu, mengepul kerang dan bintang laut di bibir pantai jadi penghasilan tambahan suami bu intang saat hari tertentu.. Disaat pasang surut air sebatas
mata kaki di pertengahan bulan.
Seperti seragam kemarin, petugas listrik negara datang memutuskan kabel dan memadamkan listrik rumah sepasang kekasih. Tunggakan belum juga dibayar. "Kami hanya menjalankan tugas, datanglah ke kantor membayar tunggakan dan menemui pimpinan, petugas menatap dua pasang mata didepannya."

Intang mengerti negara mempunyai kekuatan apapun tanpa mempertimbangkan dasar kemanusiaan. Suaminya mengenggam erat tangan kiri istrinya didepan pintu sebuah rumah tempatnya berlindung, menatap kosong delapan langkah kaki petugas listrik negara yang menuju ke mobil.
"Sayang, tidak kah kita membayar listrik secepatnya agar rumah kita bisa terang kembali, berbicara disamping istrinya."
"Belum sekarang, adikku meminjam uang tabungan kita, jawab intang."

Intang menyambung...tiga hari lalu ketika kau berangkat kerja adikku datang kemari memohon dipinjamkan uang untuk membayar hutang di rentenir."
Suami bu intang tetap terdiam, melangkah masuk kedalam. Intang menutup pintu rumah.
Sebentar lagi malam akan datang, hiduplah sepasang kekasih tanpa cahaya dalam rumah. Hanya hati yang terang dan benda-benda di angkasa yang menyinari rumah gubuknya.

Makassar, 26 Desember 2018
Salam,
nuzul mboma

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun