Sastra sebagai penghubung antara emosi seseorang dengan dunia di dalam ataupun di luar dari dirinya sendiri, yang disajikan secara estetik (tanpa muslihat, tanpa manipulasi), sehingga dapat memantik pembaca untuk menyelami jiwa seseorang. Kalau tidak salah, Wellek dan Warren pernah mengatakan bahwa sastrawan itu dapat menandingi para psikolog, karena dia mampu menggali emosi manusia tanpa melewati proses pendidikan teknis.
Novel Crime and Punnishment contohnya, karya Dostoevsky yang sangat menggali kejiwaan manusia melalui tokohnya Raskolnikov. Atau kalau dalam kesusastraan Indonesia dapat kita lihat melalui cerita-cerita pendek dan novelnya Budi Darma.Â
Dengan ide yang sederhana, almarhum Budi Darma dapat menyajikan tabiat-tabiat manusia dari beragam rupa secara telanjang dalam balutan bahasa yang tidak diromantisasi. Lantas dengan cara itu, ia mampu menggairahkan imajinasi, menggugah, dan sekaligus menguji pikiran pembaca terhadap realitas di sekelilingnya.
Oleh sebab itu, sastra hadir untuk kebersamaan, ia adalah sekumpulan manusia-manusia yang berjuang dan mempersatukan umat manusia itu adalah kesenangannya.Â
Menurut saya, apa yang dikatakan oleh Albert Camus dalam pidato penyerahan hadiah nobelnya harus diilhami oleh seorang penulis, bahwa "Sang seniman menempa dirinya terhadap orang lain, di tengah-tengah antara keindahan yang tidak dapat ia tinggalkan dan komunitas yang tidak dapat ia tinggalkan. Itu sebabnya seniman sejati tidak mencela apa pun: mereka wajib memahami, bukan menghakimi."
Bagi Camus, ada dua yang menjadi keagungan dari karya sastra, yaitu mengabdi pada kebenaran dan mengabdi pada kebebasan. Tugasnya adalah menyatukan orang sebanyak mungkin, karena karya seni tidak sepantasnya berkompromi dengan kebohongan dan tidak menghamba pada sosok tuan, dengan kata lain, bertentangan atas perbudakan dan penindasan.
Jikalau melihat pandangan Albert Camus ini, bukankah ia mengambil posisi di tengah-tengah antara Lekra dan Manifes Kebudayaan? Di mana karya sastra harus menjunjung kebenaran sekaligus ia tidak mengungkung seseorang dalam suatu keterbatasan tertentu, dan menjunjung kebebasan setinggi-tingginya.
Referensi:
- Buku Lekra vs Manikebu karya Alexander Supartono yang diterbitkan STF Driyarkara di Jakarta tahun 2000.
- Krisis Kebebasan, buku kumpulan esai Albert Camus yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, tahun 2013.