Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Berwajah Asing

16 Juni 2023   18:27 Diperbarui: 16 Juni 2023   18:40 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit jakarta sedang melayu sore itu, awannya yang mendung tak karuan diembus angin entah ke mana. Kadang ke timur, kadang pula ke barat, lalu tak berselang lama, awan bergerak ke utara. Langitnya sedang tidak baik-baik saja. Pakaian serta rambut para pejalan kaki yang hendak berjalan menuju stasiun MRT di Dukuh Atas tampak berkibar. Beberapa orang yang sudah membuka payung tampak kewalahan mengendalikannya. Sepertinya badai akan segera tiba, entah saat makan malam, atau menjelang pagi. Azan maghrib terdengar redup, meski hanya beradu suara dengan angin. Untung Jalan Sudirman sedang macet, bila tidak, maghrib akan tidak terasa seperti biasanya. Barat sedang duduk di dalam stasiun, di bawah sana, tidak ada sesuara apapun yang didengarnya, kecuali tapak kaki, orang berbicara, suara pengumuman, dan detak jantungnya sendiri. Sudah sepuluh tahun dia tidak pernah melihat wajah yang asing sekali, nyatanya wajah itu tengah berdiri di pojok kanan, tepat di samping rel kereta.

Sedari lahir, Barat dianugerahi oleh sebuah otak yang mampu mengingat dengan sangat baik. Atau ia dikutuk untuk tidak akan pernah dapat melupakan kenangan masa kecilnya yang begitu pahit. Ia bisa mereka ulang dengan amat detil peristiwa di mana ibunya dibentak, bahkan dipukul oleh ayahnya. Ia kerap menyaksikannya, bahkan hampir setiap hari. Sayang sekali, otak Barat lebih senang menayangkan kenangan pahit ketimbang hal-hal yang membahagiakan dalam hidupnya. Terkadang ingatan menyedihkan itu menghantuinya sepanjang malam, terutama saat hujan dan petir sedang menjamah tubuh kota Jakarta, karena di saat yang seperti itulah, Barat melihat ibu menyilet pergelangan tangannya sendiri di dapur dan meninggal secara perlahan.

Barat tidak pernah senang dengan kemampuannya itu, terutama segala hal jadi begitu membosankan baginya. Seakan-akan tidak ada hal lagi yang mampu menyegarkan otaknya yang brilian itu. Karena sehari-hari, Barat selalu melihat hal yang sama dan di mana saja ia pergi, ia tak lagi menemukan sesuatu yang baru. Seakan semuanya adalah benda yang diduplikat berkali-kali. Dia sudah ke Jogja, Bandung, Papua, Bali, bahkan beberapa negara di luar sana sempat ia kunjungi, meskipun dalam rangka urusan kerjaan. Tapi, tak ada satu yang menggairahkan baginya. Bagi Barat, semua tempat-tempat adalah serupa, hanya berbeda secara geografis dan skala, dan yang paling menyebalkan adalah roman-roman yang mirip satu dan lainnya. Membuatnya merasa bahwa Tuhan kurang kreatif dalam mencipta.

Barat sudah melihat milyaran wajah dari beragam ras: Arab, India, Cina, kaukasia, negro, Latin. Ada yang ia lihat di layar kaca atau buku-buku. Ada yang ia lihat secara langsung. Dan yang paling menyebalkan adalah, kian tahunnya, semuanya kian terlihat mirip-mirip satu dan lainnya. Semua yang ia temui setiap hari adalah wajah-wajah yang familiar seperti kemarin, dan wajah-wajahnya yang ditemuinya kemarin itu familiar dengan minggu kemarin, dan begitupun seterusnya. Seakan dunia menjadi suatu tempat yang sangat hangat, namun di saat yang bersamaan, dia merasa begitu lekat olehnya hingga berharap untuk dapat bersembunyi. Atau apabila mungkin, menghilang.

Barangkali sudah ada ratusan wajah yang ia lihat hari ini, adalah orang yang sama seperti yang ia lihat kemarin. Bahkan Barat ingat betul gaya berpakaian masing-masing orang yang dilihatnya. Seperti pria kepala botak yang di sebelah kanan Barat, setiap hari sudah pasti pria itu memakai penyuara telinga setiap kali pulang kerja, menggandeng ransel hitam, hanya pakai kaus dan jeans apabila cuaca baik, dan menambah jaket tebal apabila hari hujan. Dan selalu menghubungi video istrinya sesampainya di ruang tunggu. Atau perempuan yang duduk di samping Barat, selalu memegang cup plastik yang berisi kopi susu. Suatu hari ia sempat melihat ada tahi lalat di tengah-tengah dadanya, yang mana tak akan pernah ia lupakan. Namun hari ini, ada satu wajah yang benar-benar terasa asing di ingatannya. Bahkan ia merasa bahwa ia tidak pernah melihat sosok yang serupa itu sepanjang usianya yang menjelang tiga lima. Jiwanya bergetar serabutan.

Sosoknya adalah perempuan berperawakan tinggi, rambutnya pendek, dicat warna pink dengan garis-garis pirang di beberapa helainya. Matanya asing saat ia melirik ke kiri dan menemukan mata Barat sedang melintas ke pandangannya. Berwarna coklat, dan ada bercak seperti abu-abu, tapi bukan abu-abu, lalu ada garis-garis hitam yang mempertegas tatapannya. Matanya begitu cerah untuk sore yang berkabung hari itu.

Barat meyakini bahwa manusia adalah kotak-kotak misteri yang di dalamnya menyimpan rahasia semesta, dan tiap-tiap orang harus membayar berapapun harganya untuk mengungkap segala rahasianya sebelum mereka mati. Pikiran bahwa itu adalah kotak terakhir yang ia harus pecahkan sebelum kematian menjemputnya berkelebat di kepala Barat. Ada satu perasaan menggugah, seperti hendak mencicipi sup iga kambing setelah berhari-hari berpuasa. Sudah bertahun-tahun Barat terjebak oleh apa yang dinamakan orang-orang itu sebagai kehidupan yang merdeka. Sejatinya ia tidak pernah menemukan kemerdekaannya, selain terjebak di dalam genangan waktu yang kian hari mempersingkat ajal menjadi dua jengkal di depan matanya. Kini sekonyong-konyong apa yang gurunya sebut cita-cita sewaktu sekolah dasar, muncul di hadapannya seperti dendalion yang entah datang dari mana tiba-tiba mendarat di pahanya.

Saat kereta tiba, dan orang-orang bergumul di samping rel, Barat masih santai di dudukannya, sembari matanya terus mengawasi secara diam-diam gadis itu yang kini memasangkan penyuara jemala berwarna hitam di kepalanya. Saat pintu kereta dibuka, barisan orang-orang masuk dengan tertib, dan ketika dilihatnya gadis itu masuk ke gerbong lima, Barat berpusing ke sana dan menemukannya di dalam kereta tengah duduk di depan sebuah poster restoran bergambarkan ramen yang kuahnya begitu menggugah selera. Barat mengambil duduk di barisan kursi yang sama dengan gadis itu, mereka hanya terpisah beberapa kursi kosong. Sengaja ia mengambil tempat duduk itu, supaya Barat dapat melihat perempuan itu dengan aman melalui pantulan kaca di depannya. Karena Barat merasa canggung oleh sebab jantung yang kian berdebar cepat, ia mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Hingga ia terlihat seperti sedang membaca kertas, tapi sebenarnya, dengan sudut matanya yang tajam, Barat membaca gadis itu secara perlahan.

Dia tidak percaya apa yang disaksikannya. Melalui pantulan itu, ia melihat gadis itu menggoyang-goyangkan kakinya yang disilangkan. Ia memakai celana jeans, tidak terlalu ketat, tapi cukup ketat untuk memperlihatkan bahwa struktur kakinya yang ideal itu membuatnya tampak anggun dari apapun yang dilakukannya. Barat juga menemukan sebuah hidung yang membelah mukanya menjadi dua. Ini adalah apa yang disebutnya sempurna, apabila mulutnya tertutup oleh masker, gadis itu tetap memancarkan kecantikannya yang khas. Dan apabila bagian atas pada mukanya yang ditutup, gadis itu akan terlihat seksi oleh kontur bibir yang seperti ombak di laut merah yang mengalun pelan. Dia mencoba menerka wajah itu, apakah ia seorang wanita asia? Tapi matanya serupa Arab, bila ia seorang Arab, kulitnya cokelat serupa orang Meksiko, bila dia berdarah latin, hidungnya serupa orang Yahudi eropa. Dicari-carinya kata yang tepat untuk menjelaskan gadis itu, dan satu-satunya yang ia temukan adalah unik. Hanya sebuah kata biasa, tapi benar-benar menggetarkan jiwanya, meskipun kata itu juga sebenarnya bagi Barat belum dapat dipakai untuk mendefinisikannya secara sempurna. Ini adalah pengertian dari wajah yang tidak familiar bagi Barat, di belahan dunia manapun, Barat merasa tidak ada yang serupa dengan perempuan itu.

Kereta itu tidak terlalu ramai, tapi dibandingkan dengan gerbong yang lain, gerbong lima menjadi tempat yang paling ramai. Orang-orang itu wajahnya mirip di dalam ingatan Barat, jelas Barat pernah melihat salah satu di antara mereka di suatu tempat, atau menemukan orang yang mirip dengan mereka di suatu waktu. Mereka hanya diam sepanjang perjalanan. Mengawasi jendela luar yang memperlihatkan kota Jakarta yang mulai dibasahi rintik-rintik hujan. Bintang tidak terlihat bertebaran malam itu, tapi lampu pada jendela gedung-gedung terlihat seperti bintang yang menghiasi selimut kabut. Suasana jadi begitu damai, dan dalam kedamaian gerbong kereta yang orang-orangnya seperti mematung, ada satu manusia yang sedang dijamah oleh cinta dan mitos-mitosnya.

Barat melihat dengan mata yang berbinar-binar ke arah jendela, ditemukannya perempuan itu juga sedang menatap ke arahnya melalui biasan kaca jendela. Barat tidak merasa gugup, karena ia yakin betul bahwa apa yang dilihatnya hanya sebatas perasaannya saja. Adalah mustahil cinta menemukan dirinya dalam dua tubuh orang asing di dalam satu gerbong kereta, aliran listriknya tak akan sampai hanya melalui tatapan bias. Tapi, cinta selalu datang secara tidak sengaja. Dan kenyataannya, gadis itu benar-benar mencermati Barat sedari tadi. Hanya saja dia menunggu.

Seumur-umur Barat menjadi laki-laki, tak pernah disadarinya bahwa perempuan itu serupa burung merak jantan yang mengembangkan ekornya lebar-lebar. Mereka selalu menanti, dan itulah kegemaran seorang perempuan. Oleh sebab itulah perempuan tak pernah merdeka. Bahkan dalam perjuangan kemerdekaannya pun, perempuan menantikan laki-laki menjadi bodoh dan usang. Begitupun dalam persoalan mereka tentang cinta. Bagi perempuan, adalah suatu penghinaan bagi dirinya apabila mereka duluan yang menyatakannya. Berjuta-juta perang sudah dimenangkan oleh laki-laki, namun yang tak pernah dimengerti oleh wanita adalah bahwa peperangan selalu dimenangkan oleh tindakan, bukan penantian. Dan sesaat kereta berhenti di Lebak Bulus, dua manusia, laki-laki dan perempuan di gerbong lima itu, kalah dalam peperangannya. Orang-orang keluar, begitupun Barat dan perempuan asingnya yang sedari tadi sebenarnya tidak memutar musik apapun di penyuara jemalanya, melainkan sibuk mendengar detak jantungnya sendiri.

Ketika dilihatnya gadis itu bertemu dengan seorang laki-laki dan memeluknya di luar stasiun, Barat mengalihkan pandangannya, memesan taksi daring dan pulang dengan hati yang terluka. Begitupun dengan gadis itu, sesaat pelukan dilepas, dia melihat ke belakang dan menemukan Barat sedang menudukkan kepalanya mengurusi pemesanan taksi di gawai, hatinya sedih. Hari itu baginya adalah kegagalan ekor meraknya yang terbesar, karena ia tak pernah terbentang sempurna serupa hari itu.

Malam jadi begitu muram bagi keduanya. Di sebuah restoran, gadis itu menyantap makanannya sembari pura-pura tertawa dan sesekali melihat hujan turun di luar, dan terus menanyakan perihal laki-laki yang melihatnya dengan penuh cinta. Di sebuah apartemen, Barat memberi makan kucingnya, namun dirinya tidak di sana. Sepertinya Barat masih tertinggal di kereta. Tapi ia yakin, besok ia akan menemukan gadis itu kembali di stasiun yang sama pada jam yang sama. Namun semesta benar-benar kecewa, semula mitos yang menjadi kenyataan itu kini berpaling menjadi sebuah berita bahwa gadis itu akan berangkat ke Amerika esok hari untuk menempuh pendidikannya kembali. Badainya benar-benar datang tepat waktu.

Saat dilihatnya besok gadis itu tidak ada di sana, ia merasa baik-baik saja, tidak kecewa, mungkin ia hanya terlambat beberapa menit, atau terlalu cepat beberapa menit. Satu-satunya yang menjadi penting bagi Barat adalah, ia menemukan motivasinya untuk terus hidup, karena ia tahu, suatu saat, mereka akan bertemu lagi. Entah dalam pertemuan yang seperti apa, namun misteri tentang wajah itu adalah sesuatu yang harus dipecahkannya.[]

2022

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun