Kita semua telah membunuh dia, sosok pemilik nama yang muncul di halaman depan surat kabar tadi pagi. Semua orang di kota sudah mendengar berita itu. Tak ada yang tahu kenapa dia menggantung dirinya, padahal semua orang beranggapan bahwa dia adalah orang yang bahagia. Sangat bahagia, sampai tidak mungkin orang-orang berpikir bahwa suatu hari dia akan membunuh dirinya sendiri. Tentu ini bukan pembunuhan, tak ada yang membencinya, kecuali seorang penganut agama yang kaku, sensitif, dan tidak memiliki selera humor. Segala hal bisa dijadikan lelucon bagi pria tua itu, bahkan nasib buruk sekalipun. Suatu saat, tragedi ini hanya akan menjadi komedi bagi orang-orang yang merasakannya, demikian kata-katanya. Seseorang yang menghibur banyak orang, justru berakhir mati dengan tragis dalam kesepian. Dia adalah Pagliacci, komedian idola kita.
"Ayo hibur kami, Pagliacci! Hahaha, kau lucu sekali, Pagliacci! Tentu kesedihan tidak pernah menyertai hidupmu, Pagliacci!" Oh, malang sekali hidup pria tua kita itu, dan kita semua bertanggung jawab atas hal ini.
Bagaimana seseorang yang membahagiakan banyak orang justru berakhir sedemikian menyedihkan itu adalah suatu kabar duka yang teramat menyakitkan. Semua orang terhibur apabila menonton pertunjukkannya, itu sudah pasti. Setidaknya masa-masa itu pernah terjadi, sebelum akhirnya komedian-komedian muda kian lahir dan merebak seperti racun yang mengalir di dalam venanya. Mereka muda dan tolol, oh betapa orang-orang sangat menyukai pelawak yang tolol. Pagliacci tidak merasa bahwa seorang pelawak harus menjadi tolol untuk mendapatkan panggung. Bahkan ia selalu mengandalkan kepintarannya dalam melawak, dan itu membuatnya terlihat seperti seorang pelawak yang pintar. Selayaknya buah yang tua akan ditinggalkan saat musim semi membuat pohon-pohon menumbuhkan buah-buah segar, dan orang beramai-ramai menyenandungkan lagu panen dengan bergembira, maka demikianlah nasib pelawak kita itu di akhir hayatnya. Beberapa orang mengatakan bahwa Pagliacci sudah tidak lucu lagi, terlebih pertunjukkan pentas terakhirnya yang diadakan sebulan lalu. Suasananya begitu hambar, terdengar banyak orang terbatuk di beberapa penjuru pada momen keheningan lelucon Pagliacci. Dan tak ada tepuk tangan sambil berdiri di akhir acara, hanya beberapa orang yang berupaya memberikannya sebuah apresiasi atas mukanya yang keriput. Suatu pertunjukkan yang menyedihkan untuk lelaki tua itu.
Entahlah, saya begitu teringat saat orang-orang berteriak di jalan-jalan saat kota mereka dikunjungi pelawak kita itu, "datanglah ke aula kota nanti malam! Pagliacci tentu bisa melepaskan kesedihan kita," begitu semua orang berkata tentangnya di suatu masa. Tapi tadi sore, hujan turun menemani Pagliacci di pekuburannya bersama ratusan orang-orang tua yang kesedihan. Tidak ada tawa untuk hari ini buat kita, hanya air mata. "Dia siapa?" kata seorang anak kecil yang menemani orang tuanya untuk memberikan penghormatan terakhir sebelum lubang kubur Pagliacci ditutup. Tapi tak ada sorakan atau siulan bising, hanya rintik air dari langit dan rintihan nafas yang terasa berat untuk Pagliacci kali itu.
Lelaki itu menoleh ke putrinya, dia menguatkan pegangan tangannya dan berkata, "seorang pahlawan hanya akan mati saat kita semua sudah melupakan tentangnya." Tentu gadis kecil itu tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh ayahnya, tapi aku yakin suatu saat dia akan mengerti.
Pagliacci pernah memiliki keluarga, seorang istri yang cantik, dua orang anak perempuan, dan mereka semua memang mati dalam satu insiden kebakaran. Semua orang tahu cerita itu, bahkan itu adalah lelucon favoritnya, satu lelucon yang tak pernah ia lewatkan setiap malam pertunjukkannya. Dan semua orang menikmatinya dengan tertawa, begitupun Pagliacci yang bermonolog tentang peristiwa itu dengan dibaluti oleh humor yang manis di depan para penonton. Tidak ada yang pernah melihatnya bersedih hati, kecuali seorang pelacur muda yang dikunjunginya setiap malam Senin, sehabis ia melakukan pertunjukkannya. Dia selalu menangis setiap habis bercinta dengan burung tuanya bersama perempuan itu. Saat orang-orang pulang dari aula menuju mobil-mobil mereka sambil terus tertawa membicarakan pertunjukkan yang baru saja berakhir beberapa saat lalu, Pagliacci tua berjalan di gang kecil belakang gedung, di antara keremangan dan bak-bak sampah, sambil menghapus air matanya, dan berharap dapat menutup malam bersama pelacur itu. Kuharap kau tahu hal itu lebih dulu.
"Kau sudah tua, Pagliacci." Kata pelacur itu suatu malam, yang menyandarkan kepalanya di dada keriput pelawak kita sambil mengelus perut Pagliacci yang kian buncit dengan jari-jemarinya. "Orang-orang sudah kurang terhubung dengan leluconmu."
"Mungkin sudah saatnya kamu pensiun, sayang."
Pagliacci tertawa, "Apa yang terjadi pada dunia saat tragedi sudah tak lagi menjadi komedi?" ujarnya dengan bercanda, dan kemudian dia menangis. Si perempuan mengencangkan pelukannya. Saat itu adalah malam yang sunyi, semua orang menikmati semua lelucon dalam hidup ini dan beristirahat untuk pertarungan hebat yang baru di esok hari. Tapi tidak bagi Pagliacci yang malang, dia tidak pernah siap untuk candaan yang lain, dia hanya berpura-pura menyukainya. Dia tidak pernah ingin pensiun. Dia sangat suka dengan pekerjaannya, "semua orang harus tertawa, paling tidak sekali seumur hidup," katanya. Tapi whiskey membuat hidupnya berjalan begitu cepat, hingga ia terlupa bahwa seseorang akan menjadi tua dalam satu kedipan mata saja.
Tak bisa dipungkiri bahwa Pagliacci adalah sosok yang akrab oleh semua orang, dan dia handal untuk menyembunyikan dirinya sendiri. Setiap kali Pagliacci terduduk murung di kedai minum, dan seseorang menghampiri kursinya dan meminta Pagliacci untuk melawak, dia tak segan-segan untuk melakukannya. Dan saat mereka sudah usai tertawa dan duduk di mejanya sendiri, Pagliacci akan kembali duduk murung dan menghabiskan gelas whiskey ke tujuhnya, dan kalian tidak pernah memahaminya.
Kematiannya ini terus menyimpan misteri dan terus menjadi perbincangan hangat seharian ini. Teka-teki bagaimana seorang komedian legendaris mati dalam kondisi yang mengenaskan seperti itu. Para wartawan berlomba menulis teori tentang kematiannya di koran-koran, yang semua orang berupaya untuk memecahkannya. Ada yang mengatakan bahwa dia sudah kehabisan leluconnya dan depresi. Atau ada yang mengatakan bahwa Pagliacci menderita penyakit keras dan tak tersembuhkan. Tapi, ada satu teori yang membuatku tertawa, bahwa kematiannya ini bisa jadi adalah lelucon Pagliacci yang terakhir. Sebuah mahakarya seorang legenda, ujarnya.
Aku ingin membunuh segala teori kematian Pagliacci dengan sebuah fakta, karena menurutku semua orang berhak mendapatkan kebenaran ini. Dan kebenaran Pagliacci juga harus diketahui oleh semua orang, bagaimana kita semua sebenarnya telah membunuh dia. Kalian mungkin tak bisa melihat air mata yang tersembunyi di balik tawa mata tuanya Pagliacci, tapi aku menyaksikannya sendiri, Pagliacci yang tua merengek seperti seorang bayi kecil di atas kasurku. Dia sangat mencintai keluarganya, terutama istirinya, Mary, sebuah kisah cinta klasik, katanya.
Seumur hidup Pagliacci tidak pernah mengerti kenapa jatuh cinta itu selalu terjadi tanpa sengaja. Hingga saat ia mengetahui bahwa rumah mereka terbakar dalam satu insiden saat Pagliacci tengah melakukan turnya ke beberapa kota untuk melawak, dan cinta di dalam jiwa Pagliacci ikut terbakar bersama keluarganya malam itu, termasuk cintanya pada komedi hingga ia lupa apa artinya menjadi manusia. Pagliacci tidak menangis saat pemakaman, dia bahkan tidak tahu apa yang sedang dirasakannya. Bisa jadi ia memang tak merasakan apa-apa sama sekali. Dan kami semua mendengar kisahnya dengan satu tawa yang cukup lebar, hingga membuat seorang tua yang bijaksana dapat menangis seperti bayi kecil di balik tirai.
Ada satu surat yang ditinggal olehnya saat dia memutuskan untuk menggantung dirinya, namaku tertera di surat itu, dia mengatakan bahwa aku benar. Dan aku merasa bersalah kalau ini semua berakhir seperti ini. Faktanya, aku baru saja jatuh cinta pada pria tua itu. Entah, aku juga tidak mengerti, kami terpaut usia 40 tahun, dan kata teman-temanku ini aneh. Tapi entahlah, mungkin Pagliacci memang benar, bahwa cinta selalu datang tanpa sengaja.
Dan Pagliacci, kuharap kau mengerti bahwa tak ada yang lebih menyedihkan dari diriku saat ini. Saat aku harus menyimpan semua kebenaran ini, dan orang-orang berlomba untuk satu cerita yang menarik, aku merasa tersiksa. Ada satu gairah di dalamku, yaitu sebuah perasaan yang menginginkan semua orang juga ikut merasakan rasa sakit di dalam jiwaku. Rasa sakit saat mengetahui bahwa selama ini kau selalu bersembunyi dari semua orang. Aku tahu, tentu Pagliacci tidak ingin orang-orang tahu tentang kebenarannya seperti apa, tapi kembali lagi, kupikir semua orang berhak tahu.
Oleh sebab itu kupersembahkan surat ini kepada kalian semua, untuk lelucon terakhirnya. Karena sebenarnya, mahakarya Pagliacci itu tidak akan lengkap tanpa adanya surat ini. Maka kebenaran yang akan kuberikan padamu inilah yang akan menjadi lelucon terakhir dari Pagliacci untuk kita semua. Sebuah lelucon yang apabila ia sudah usai diucapkan, tak lagi disambut oleh sebuah tawa, melainkan keheningan di pagi buta. Dan setelah itu, kita semua dapat saling bersulang, untuk sebuah lelucon paling jenius di abad ini, yaitu: kita semua sudah membunuh dia, komedian kita, si pelipur lara kita sendiri.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H