Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

2045

1 Desember 2022   19:47 Diperbarui: 1 Desember 2022   19:50 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini adalah masa terhebat! Masa paling gemilang untuk peradaban manusia!"

Sepotong orasi yang kerap diulang-ulang di sekolah. Diperdengarkan setiap sore dan petang di sudut-sudut kota dan kampung. Negara ini sekarang adalah negara gemilang, demikian kata mereka. Ekonomi dan pembangunan, politik, hubungan internasional, semua itu berada pada puncaknya. Tapi, kebebasan menjadi makanannya. Terkikis, sedikit demi sedikit, kebebasan kami. Dan sekarang, sudah direnggut.

Demokrasi sebelumnya membuat kami menjadi bodoh. "Tak ada ruang untuk demokrasi!" demikian kata presiden kita, Pradopo yang hebat. Para aktivis yang menyeleweng, dibuang entah kemana. Agamawan yang melenceng, dipenjara. Orang yang mengumbar kebodohan di media sosial, diculik. Lantas, saat kecaman berbondong-bondong datang menyerang negara yang gemilang ini, pemerintah enteng saja menanggapinya. Bahkan sekarang tak ada lagi media sosial komersil di tempat kami.

Gemilang, tapi nyaris kuno. 

Nilai moral sudah menjadi kacau akibat demokrasi, itu yang diajarkan di sekolah-sekolah. Begitupun nilai-nilai lain, sudah babak belur oleh opini publik yang dilempar asal-asalan. Orang sudah tak dapat membedakan kritik dan hujatan. Kebebasan dalam demokrasi seakan-akan menghalalkan segala perbuatan, itu yang mereka tanamkan di kepala kami. Mereka itu, satu partai politik, yang karena nilai-nilai kian hari kian melenceng (bagi mereka), memicu gerakan untuk menggulingkan pemerintahan dan merajai segalanya.

Sudah hampir tujuh tahun dia itu, Pradopo yang hebat, jadi presiden. Dan aku sedikit demi sedikit mulai mengerti bahwa, di tangannya, nilai-nilai ditata ulang, dan tak satu aliran pun yang bisa mencemari perjuangannya. Semua sistem dikonstruksi ulang secara total, kami semua kembali pada nilai-nilai tradisi yang jauh dari kata kultur modern, apalagi post-mo, yang dianggap olehnya sebagai sesuatu yang menyesatkan.

Maka aku duduk di pinggir sungai. Matahari masih sejumput lagi sebelum gelap menumbangkan hari-hari yang lain tanpa kebebasan. Aku melihat orang-orang sedang menjaring ikan di dekat jembatan. Tampak terburu-buru. Bahkan semua orang tergesa-gesa, sebab jam malam sebentar lagi akan diberlakukan. Aku mencoba menikmati setiap detik yang berlalu dengan menghirup udara yang bertiup tipis, merayu ilalang dan pepohonan dengan lembut, sebelum akhirnya kami harus hidup di dalam rumah yang dihimpit oleh tembok-tembok sunyi sekian panjangnya malam.

Satu mobil truk serdadu baru saja lewat di atas jembatan, isinya orang-orang botak bertopi besi membawa pucuk senjata logam di tangan. Entah siapa yang menjadi buruan mereka hari ini, tapi dua orang guruku di sekolah sudah hilang sejak kemarin. Mungkin sekolah kami belum bersih, mungkin kampung kami masih belum bersih, mungkin aku belum bersih. Tapi apa itu bersih?

Semilir angin benar-benar merayu. Aku membaringkan tubuhku di atas rumput, dataran yang kutiduri ini posisinya agak tinggi daripada arus sungai di bawah sana. Jadi aku bisa melihat dengan mantap kehidupan yang berlangsung di atas kepalaku. Awan-awan berjalan pelan di bawah langit oranye yang perlahan menjadi merah. Burung-burung kulihat sedang terbang pulang ke rumah.

Apa itu menjadi manusia? Pikirku. Apakah salah menjadi bodoh? Bahkan, apa itu pintar?

Aku hanya bersiul setelah menghembuskan nafas berat. Kemudian tanpa sadar aku jatuh tertidur. Dan saat aku terbangun, hari sudah menjadi gelap. Orang-orang yang menjaring ikan sudah pergi. Aku panik, tiba-tiba saja, aku tak hanya mendengar suara serangga, tapi juga sirene pemberitahuan di tiang-tiang lampu persimpangan. Pemberitahuan bahwa tak ada lagi malam-malam panjang di pos ronda atau warung untuk bercanda dan bernyanyi. Aku segera bangkit dan berjalan mendaki sedikit ke atas. Ibu pasti sudah khawatir di rumah.

Di atas, pada satu jalan bebatuan memanjang ke arah balai kampung, aku berdiri dan mencari cara untuk pulang dengan selamat tanpa ketahuan, tanpa harus diinterogasi terlebih dulu, bahkan hingga dipukul-pukul atau ditendang baru bisa pulang. Aku tak mau hal itu terjadi, aku tak mau para petugas yang berpatroli tahu bahwa anak remaja sepertiku masih berkeliaran di jam-jam segitu. Maka aku merangkak di semak-semak. Ke arah barat, menuju tempat matahari tenggelam, kususuri rerumputan panjang dan belukar tajam, untuk pulang.

Di ujung jalan, aku berhenti sebentar dan bersembunyi. Dua orang serdadu sedang berjalan di atas jembatan, merokok dan tertawa bebas. Mereka mendekat ke arahku. Aku berhenti bernafas saat mereka melintas sepersekian jarak di hadapanku. Kemudian saat mereka sudah jauh, aku mengendap-endap---tapi, cepat---ke jalan seberang dan kembali menyusuri semak-semak.

Jalan-jalan tampak gelap, tiang-tiang lampu berdiri cukup jauh satu sama lain, juga arus sungai masih terdengar mengalir deras, sehingga aku tak berani mengambil risiko untuk berjalan di jalan yang pantas---karena aku tak bisa melihat cukup jauh, dan aku tak bisa mendengar dari jauh.

Berjarak dua ratus meter dari pos jaga itu, aku melihat seorang bapak dengan motornya dicegat oleh beberapa penjaga. Aku tak mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, tapi pria tua itu tampaknya memohon-mohon untuk dibiarkan pergi. Entahlah, jarang-jarang orang di kampung kami berani keluar di jam segini. Apalagi setelah kejadian beberapa hari lalu, di mana kami mendengar ada banyak warga yang dipukul batang otaknya dengan ujung senapan. Mungkin bapak itu memang benar-benar memiliki kepentingan untuk keluar malam ini. Tapi tiba-tiba aku terperanjat, lelaki itu dipukul tepat di mukanya oleh seorang penjaga berbadan kekar. Kemudian kulihat dia menangis, air mata dan keringat di wajahnya tampak berkilauan di bawah paparan sinar lampu perempatan jalan itu. Lalu, entah apa yang terjadi, negosiasi panjang itu sepertinya tidak berjalan halus, malahan lelaki yang menangis itu ditarik paksa dan dibawa ke kantor polisi oleh dua orang petugas.

Saat kupikir kondisi sudah menjadi aman, aku kembali melangkah sedikit demi sedikit. Menjejakkan kaki di hamparan tak datar dan tajam. Semak-semak itu terasa seperti ujung silet, yang menyayat kulit-kulit. Lalu tanpa sengaja aku menginjak sebuah kaleng bekas yang tersembunyi di balik anyaman rerumputan. Suara garingnya besi terbang halus ke telinga dua petugas yang tersisa di pos jaga. Mereka memalingkan mukanya ke arahku. Entah apa mereka benar melihatku atau tidak, tapi mataku dan mata mereka rasanya seperti bertemu. Kemudian setetes keringat mengalir di pelipis. Kegugupanku ini membuat aku menelan air ludah tanpa sadar. Jarum jam berdenting cukup lama saat itu, sehingga aku merasa sudah menikah dengan seorang perempuan dan memiliki anak apabila waktu ini sudah berlalu. Saat dua penjaga itu tidak lagi menoleh padaku, barulah aku merasa lega. Udara pertama yang kukeluarkan dari dalam dada terasa bebas seperti kepakan sayap burung di langit yang cerah.

Mungkin hanya di saat-saat seperti itu, aku mengerti apa itu kebebasan.

Dari kejauhan, aku mendengar deru mesin dan roda berputar menggiling jalan-jalan aspal. Ini adalah kesempatanku untuk berjalan lebih cepat. Tapi kemudian aku berlari. Berlari kian cepat merobek semak-semak dan mengkoyak-koyakkan aturan malam jahanam itu. Menembus duri-duri tajam hingga aku menemukan rumahku yang sedang bersembunyi di antara kesunyian jalan. Tapi kulihat ada beberapa sepatu bot serdadu di teras rumah, dan pintu terbuka lebar. Bayangan bapak kutemukan melalui jendela sedang menundukkan kepalanya. Petugas keamanan sedang menggeledah rumah. Lalu ibu melintas keluar dari dalam kamar dengan menangis. Bapak marah-marah. Aku tak mendengarnya, tapi sudah pasti tingkah keras yang dikeluarkannya itu adalah sikap pemberontakan. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan.

Mungkin dua orang penjaga itu sedang mencariku. Tapi kenapa dua orang dewasa itu sangat mengkhawatirkan anak-anak sepertiku? Lantas saat dua petugas itu sudah berada di luar, dan bapak masih marah-marah, mereka tiba-tiba saja membentak hingga aku untuk pertama kalinya tahu apa yang terjadi. Dan kepala bapak dipukuli begitu saja dengan logam senapan. Sontak aku berlari keluar dari persembunyianku.

Entah kenapa, ada dorongan hebat dari dalam hatiku, suatu perasaan terkoyak-koyak yang hendak memberontak, maka aku berteriak "anjing!" kepada dua penjaga itu dengan lantang. Ibu terkejut, menutup kedua mulutnya dengan tangan.

"Oh, ini anak nakal itu," kata salah seorang petugas. Kepalanya cepak dan ia tak membawa apa-apa selain sepucuk pistol di saku ikat pinggangnya. Ia berjalan mendekat kepadaku dengan tersenyum. Kemudian dengan sepatu bot hitam mengkilat yang sudah dikenakannya itu, dia menendang pahaku hingga aku jatuh tersungkur mencium tanah.

Di titik itu, titik terendah dari langit yang menjulang tinggi di atas kepalaku, aku merasa gagal menjadi manusia. Aku dipaksa mencium penghinaan ini sekuat-kuatnya, karena aku tak bisa berbuat apa-apa selain mengerang kesakitan. Sementara petugas itu hendak menarik kerah bajuku dan mungkin akan mencecarku dengan kata-kata bernada tinggi yang menyakitkan. Tapi tidak, saat hidupku berada pada jeratan tangannya---yang menarik kerah kaosku---dia hanya memintaku untuk mengulang kembali perkataanku barusan itu. Dia memintanya dengan sangat halus, suatu kehalusan yang menggila. Dari sudut mataku, yang kini tampak dunia sedikit berputar-putar, aku dapat melihat tubuh ibu sudah ditahan oleh penjaga yang lebih muda. Wanita penuh kasih sayang itu menangis melihat aku tak berdaya---terlebih-lebih bapak yang terkapar seperti orang mati di atas tanah.

Tiba-tiba saja aku hanya ingin tersenyum. Petugas itu meninju wajahku. Aku kembali jatuh. Tapi aku tetap, hanya ingin tersenyum. Pipiku sekarang diinjak oleh sepatu botnya. Darah keluar dari mulut, tapi petugas itu masih mengulang-ulang permintaannya, yang aku tak mengerti sama sekali. Aku hanya tersenyum dan tak melawan. Lantas dengan terbata-bata, dan mulut yang sedikit dimonyongkan oleh ulah sepatu botnya yang menginjak pipiku, aku memintanya untuk menghinakanku lagi. Lagi dan lagi, karena ini teramat menyenangkan.

Kemudian karena mereka geram, aku diangkut ke atas motor becak, dan mereka membawaku ke kantor polisi. Di sana, tanpa melalui proses apa-apa, aku--yang sedang dalam keadaan babak belur---dilempar begitu saja seperti babi ke dalam jeruji besi.

Aku pikir aku sendirian. Tapi lihatlah, di dalam sana, aku malah bertemu dengan bapak yang tadi dicegat di pos jaga, pelipisnya lebam akibat dikecup kepalan tangan petugas. Dia menangis, sambil terus bersorak "istri saya sakit," dengan terisak-isak. Malam yang kelam ini masih sangat panjang untuk dia dan dunia yang sunyi ini.

Kami bahkan tak bertegur sapa. Bahkan aku tak tahu apakah dia sadar akan keberadaanku yang dikurung di ruangan yang sama dengannya. Dia bising sekali. Sama seperti kepalaku, yang semua di dalamnya saling mencecar. Tapi bebas.  

Aku mengambil duduk di pojokan penjara---beberapa jarak di samping kanan pria itu---lalu bersandar pada tembok kusam. Sisi-sisi yang lain kosong, hanya aku dan dia. Aku, yang muda ini, yang tak tahu apa itu menjadi pintar, kebodohan, kedewasaan, keberhasilan, dan apa itu kegagalan menjadi manusia, aku bahkan tak tahu apa-apa, tapi satu-satunya pengetahuan yang kupunya bahwa inilah yang namanya kebebasan. Kebebasanku. Kebebasan atas diriku.

Maka, saat fajar menjemput nanti, yang cahaya-cahaya dan harapannya akan datang melalui celah kecil di atas dinding, aku, yang terkurung ini, adalah satu-satunya manusia yang merasakan kebebasan di negeriku. Akulah manusia yang dengan senang menyambut hari-hari penuh dengan pembebasan.

Tapi, nilai inikah yang mereka maksud itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun