Di atas, pada satu jalan bebatuan memanjang ke arah balai kampung, aku berdiri dan mencari cara untuk pulang dengan selamat tanpa ketahuan, tanpa harus diinterogasi terlebih dulu, bahkan hingga dipukul-pukul atau ditendang baru bisa pulang. Aku tak mau hal itu terjadi, aku tak mau para petugas yang berpatroli tahu bahwa anak remaja sepertiku masih berkeliaran di jam-jam segitu. Maka aku merangkak di semak-semak. Ke arah barat, menuju tempat matahari tenggelam, kususuri rerumputan panjang dan belukar tajam, untuk pulang.
Di ujung jalan, aku berhenti sebentar dan bersembunyi. Dua orang serdadu sedang berjalan di atas jembatan, merokok dan tertawa bebas. Mereka mendekat ke arahku. Aku berhenti bernafas saat mereka melintas sepersekian jarak di hadapanku. Kemudian saat mereka sudah jauh, aku mengendap-endap---tapi, cepat---ke jalan seberang dan kembali menyusuri semak-semak.
Jalan-jalan tampak gelap, tiang-tiang lampu berdiri cukup jauh satu sama lain, juga arus sungai masih terdengar mengalir deras, sehingga aku tak berani mengambil risiko untuk berjalan di jalan yang pantas---karena aku tak bisa melihat cukup jauh, dan aku tak bisa mendengar dari jauh.
Berjarak dua ratus meter dari pos jaga itu, aku melihat seorang bapak dengan motornya dicegat oleh beberapa penjaga. Aku tak mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, tapi pria tua itu tampaknya memohon-mohon untuk dibiarkan pergi. Entahlah, jarang-jarang orang di kampung kami berani keluar di jam segini. Apalagi setelah kejadian beberapa hari lalu, di mana kami mendengar ada banyak warga yang dipukul batang otaknya dengan ujung senapan. Mungkin bapak itu memang benar-benar memiliki kepentingan untuk keluar malam ini. Tapi tiba-tiba aku terperanjat, lelaki itu dipukul tepat di mukanya oleh seorang penjaga berbadan kekar. Kemudian kulihat dia menangis, air mata dan keringat di wajahnya tampak berkilauan di bawah paparan sinar lampu perempatan jalan itu. Lalu, entah apa yang terjadi, negosiasi panjang itu sepertinya tidak berjalan halus, malahan lelaki yang menangis itu ditarik paksa dan dibawa ke kantor polisi oleh dua orang petugas.
Saat kupikir kondisi sudah menjadi aman, aku kembali melangkah sedikit demi sedikit. Menjejakkan kaki di hamparan tak datar dan tajam. Semak-semak itu terasa seperti ujung silet, yang menyayat kulit-kulit. Lalu tanpa sengaja aku menginjak sebuah kaleng bekas yang tersembunyi di balik anyaman rerumputan. Suara garingnya besi terbang halus ke telinga dua petugas yang tersisa di pos jaga. Mereka memalingkan mukanya ke arahku. Entah apa mereka benar melihatku atau tidak, tapi mataku dan mata mereka rasanya seperti bertemu. Kemudian setetes keringat mengalir di pelipis. Kegugupanku ini membuat aku menelan air ludah tanpa sadar. Jarum jam berdenting cukup lama saat itu, sehingga aku merasa sudah menikah dengan seorang perempuan dan memiliki anak apabila waktu ini sudah berlalu. Saat dua penjaga itu tidak lagi menoleh padaku, barulah aku merasa lega. Udara pertama yang kukeluarkan dari dalam dada terasa bebas seperti kepakan sayap burung di langit yang cerah.
Mungkin hanya di saat-saat seperti itu, aku mengerti apa itu kebebasan.
Dari kejauhan, aku mendengar deru mesin dan roda berputar menggiling jalan-jalan aspal. Ini adalah kesempatanku untuk berjalan lebih cepat. Tapi kemudian aku berlari. Berlari kian cepat merobek semak-semak dan mengkoyak-koyakkan aturan malam jahanam itu. Menembus duri-duri tajam hingga aku menemukan rumahku yang sedang bersembunyi di antara kesunyian jalan. Tapi kulihat ada beberapa sepatu bot serdadu di teras rumah, dan pintu terbuka lebar. Bayangan bapak kutemukan melalui jendela sedang menundukkan kepalanya. Petugas keamanan sedang menggeledah rumah. Lalu ibu melintas keluar dari dalam kamar dengan menangis. Bapak marah-marah. Aku tak mendengarnya, tapi sudah pasti tingkah keras yang dikeluarkannya itu adalah sikap pemberontakan. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan.
Mungkin dua orang penjaga itu sedang mencariku. Tapi kenapa dua orang dewasa itu sangat mengkhawatirkan anak-anak sepertiku? Lantas saat dua petugas itu sudah berada di luar, dan bapak masih marah-marah, mereka tiba-tiba saja membentak hingga aku untuk pertama kalinya tahu apa yang terjadi. Dan kepala bapak dipukuli begitu saja dengan logam senapan. Sontak aku berlari keluar dari persembunyianku.
Entah kenapa, ada dorongan hebat dari dalam hatiku, suatu perasaan terkoyak-koyak yang hendak memberontak, maka aku berteriak "anjing!" kepada dua penjaga itu dengan lantang. Ibu terkejut, menutup kedua mulutnya dengan tangan.
"Oh, ini anak nakal itu," kata salah seorang petugas. Kepalanya cepak dan ia tak membawa apa-apa selain sepucuk pistol di saku ikat pinggangnya. Ia berjalan mendekat kepadaku dengan tersenyum. Kemudian dengan sepatu bot hitam mengkilat yang sudah dikenakannya itu, dia menendang pahaku hingga aku jatuh tersungkur mencium tanah.
Di titik itu, titik terendah dari langit yang menjulang tinggi di atas kepalaku, aku merasa gagal menjadi manusia. Aku dipaksa mencium penghinaan ini sekuat-kuatnya, karena aku tak bisa berbuat apa-apa selain mengerang kesakitan. Sementara petugas itu hendak menarik kerah bajuku dan mungkin akan mencecarku dengan kata-kata bernada tinggi yang menyakitkan. Tapi tidak, saat hidupku berada pada jeratan tangannya---yang menarik kerah kaosku---dia hanya memintaku untuk mengulang kembali perkataanku barusan itu. Dia memintanya dengan sangat halus, suatu kehalusan yang menggila. Dari sudut mataku, yang kini tampak dunia sedikit berputar-putar, aku dapat melihat tubuh ibu sudah ditahan oleh penjaga yang lebih muda. Wanita penuh kasih sayang itu menangis melihat aku tak berdaya---terlebih-lebih bapak yang terkapar seperti orang mati di atas tanah.