Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ulang Tahun Sophia

14 Oktober 2022   18:20 Diperbarui: 14 Oktober 2022   18:24 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat jam istirahat, saya bertanya kepada guru-guru lain tentang hadiah untuk Sophia. Mereka malah tampak bingung dan cemas. Tapi saya tak hirau, menurut saya wajar. Kemudian mereka mengajak saya untuk ngobrol. Tapi saya tak mau, lalu saya mengambil jus jeruk dan menghisap sebatang rokok di gudang gedung olahraga. Saya mencampurkan sedikit vodka ke dalam jus jeruk itu. Supaya saya bertambah semangat dan percaya diri.

Saya mengajar dengan sangat mantap hari ini. Saya pikir begitu. Pasalnya semua anak-anak mudah memahami materi yang saya sampaikan. Saya singgah sebentar ke ruang guru untuk berpamitan. Kemudian saya mengendarai mobil melintasi jalan Oak yang sedikit ramai. Berbelok ke kiri ke arah Elm, dan dari sana saya tinggal lurus terus sampai ke pusat kota. 

Saya berhenti di depan sebuah butik. Tapi saya hanya numpang parkir di sana, selebihnya saya cukup berjalan kaki saja untuk melihat-lihat barang apa yang cocok dijadikan hadiah. Saya berjalan di antara orang-orang di trotoar. Siang itu udaranya cukup dingin, tampaknya sebentar lagi musim dingin akan datang. Saya memasukkan tangan saya ke dalam mantel. Sepanjang jalan saya menemukan banyak toko menarik yang agaknya harus saya masuki satu persatu. Toko pertama adalah toko kue, di sana seorang wanita penjaga menyambut kedatangan saya. Dan saya bilang saya hendak memesan kue ulang tahun untuk anak saya. Wanita itu bilang pesanan saya akan selesai dalam 30 menit. Saya menunggu di luar. 

Saya bersandar di dinding toko sambil merokok. Saya memperhatikan foto-foto Sophia kecil. Dia tengah menaiki trampolin seraya memegang bola karet, dengan sangat bangga menunjukkan gigi ompongnya. Kemudian di foto yang lain, Sophia kecil tengah menaiki sepeda. Roda-roda pembantu itu takkan membuatnya terjatuh, tapi di foto ia seakan tak ingin saya melepaskan pegangannya. Gadis itu memang menggemaskan sekali. Dan kembali lagi saya melihat foto Sophia yang menjadi foto favorit saya. Saat itu Sophia masih di rumah sakit. Tubuh mungilnya sedang terlelap tenang di dalam inkubator. Saya sangat senang, gadis itu sangat tak sabar untuk melihat dunia yang begitu indah ini. Entahlah, saya masih begitu ingat aroma surga yang melekat di tubuhnya. 

Saya menangis. Orang-orang melihat saya dengan terheran, lantas saya tersenyum kepada orang-orang itu sambil menunjukkan foto Sophia. 

Setelah pesanan saya selesai, saya kembali berjalan ke arah barat. Di sana saya menemukan toko mainan. Saat saya masuk, lonceng pintu berbunyi dan saya tersenyum. Seandainya Sophia ada di sini, dia akan keluar masuk berkali-kali untuk membunyikan bel itu kembali. Saya teringat Sophia pernah bilang dia ingin punya toko mainan. Saya tertawa. Dan saya teringat lagi, Sophia yang senang bermain trampolin, menangis saat mengetahui trampolinnya rusak akibat angin topan. Mungkin dia akan sangat senang bila saya membelikannya trampolin yang baru. Langsung saya mencari dan memilih ukuran trampolin yang pas untuknya.

Di mobil, sebelum saya mengunjungi Sophia, saya kembali memeriksa. Mungkin ada yang terlewatkan, tapi syukurnya semua sudah lengkap. Ulang tahun yang sempurna meski tak ada perayaan. Saya yakin dia akan sangat senang. 

Saat saya sampai ke tempat Sophia, hari sudah menjadi sore. Saya melihat mantan istri saya dan suami barunya. Saya memanggil mereka berdua sambil menunjukkan barang yang saya bawa. Mereka tersenyum. Karena saya tahu pasti jam segini Sophia masih tertidur, maka saya meminta mereka untuk tidak berkata apa-apa dengan mengancungkan telunjuk saya ke depan bibir. Saya berjalan perlahan menghampiri mereka, sedikit berjinjit dan tak ingin menggaduh siapa pun. Kemudian saya meletakkan kado berisikan trampolin ke tanah, dan mengarahkan mereka untuk duduk di bangku panjang. Di sana kami menunggu Sophia bangun. Sesekali saya mengecek bungkusan kue, dan senang sekali saat melihat nama Sophia tertulis benar dan cantik dengan warna merah jambu. Warna favoritnya.

Tapi daun-daun terus jatuh berguguran karena angin kian bertiup. Dan langit senja siap menghantarkan kami kepada malam sebentar lagi. Namun Sophia tak kunjung tersadar dari alam mimpinya. Alina sudah menjatuhkan air matanya. Clark mengelus punggung Alina. Saya hanya diam, terus menanti Sophia bangun. Saya bilang padanya, tentu saya akan marah bila Sophia membuat ibunya menangis. Tapi gadis itu tak mendengar. Kembali saya coba membangunkannya. Tapi ia tak kunjung bangun. Lantas saya kesal. Saya campakkan kue itu ke tanah. Kue berserakan. Alina kian bertambah tangisnya. Saya meneriaki Sophia, seandainya ia tidak juga bangun, maka saya akan pulang dan takkan mendatanginya lagi. Namun Sophia juga tak membalas, maka saya mengambil trampolin itu dan meninggalkan Sophia, Alina dan suami keparatnya itu. 

Sepanjang perjalanan saya kesal. Bahkan saya hampir saja menabrak skuter seorang pengantar pizza. Saya mengancungkan jari tengah dan memakinya. Saya melihat jalanan macet, maka saya mengklakson cukup kuat. Pengemudi di depan meneriaki saya. Maka saya meneriakinya balik. Kemudian pengemudi itu keluar, seorang pemuda, tubuhnya kekar. Dia membentangkan kedua tangannya. Dia pikir saya takut. Saya ancungi dia jari tengah, dan dia berjalan menghampiri mobil saya. Langsung saya keluar dan meninju wajahnya.

Malam sudah jatuh sesampainya di rumah, saya meletakkan bungkus kado di pojokan bersama bungkusan lainnya. Kemudian saya ke kamar mandi dengan linglung. Saya melihat diri saya di cermin. Mata saya memar dan bengkak. Gigi saya patah. Hidung saya berdarah. Pipi saya merah bonyok. Saya meludah ke wastafel dan yang keluar adalah darah. Namun di depan cermin itu saya tiba-tiba bisa tersenyum. Setidaknya di cermin itu, entah datang dari mana dia, saya menemukan Sophia sedang berdiri di belakang saya memeluk boneka beruangnya. Dia tersenyum dengan giginya yang baru tumbuh. Saya pun tersenyum dengan wajah yang menyedihkan ini. Pipi saya terasa hangat oleh tetesan air mata. Saya hanya mampu berkata, "selamat ulang tahun, sayang." Dan gadis kecil itu kembali pergi menuju entah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun