Karena aku mengetahui sebuah fakta, bahwa sejatinya aku tak pernah ada di antara semua kehancuran itu. Tapi ketidakadaan itu memberikan arti padaku bahwa aku ada dan terus ada hingga maut datang menjemputku. Justru ketiadaanku itu terasa nyata saat aku tak pernah mendengar simfoni kehancuran itu.
Sungguh seni yang indah itu bersumber dari kehancuran. Dan itu membuatku yakin betul, aku adalah sepotong seni yang indah dari seorang seniman yang hancur lebur.
Selepas itu aku menarik telingaku menjauh dari dinding itu, aku kembali menengadah dengan perasaan yang lega. Bagai bendera di atas dek kapal yang diombang-ambing oleh badai di malam buta. Namun kini aku tak menyaksikan apa-apa, selain hitam dan kesuraman. Aku menarik nafas cukup lama.Â
Sampai rasanya paru-paruku hampir meledak, dan aku terbatuk. Tapi itu pada akhirnya memberikanku sebuah senyuman yang cantik. Dan tawaan yang lepas. Berkat tembok-tembok itu, aku merasa hidup di dalam duniaku.Â
Dan tak ada satupun yang dapat masuk ke dalamnya. Dan mengetahui bahwa, ada seorang yang gila sedang tertawa-tawa di dalam sana oleh sebab ia hampir baru saja mati karena ulahnya sendiri.Â
Aku menikmati kesendirianku di dalam sana. Tak terpikirkan olehku untuk merobohkannya. Lagipun aku tak punya alat untuk melakukan itu. Tembok-tembok itu mengajarkanku untuk menikmati kesepian dan kehampaan ini. Sesungguhnya kesepian adalah seorang teman sejati yang tak pernah pergi.Â
Dia adalah cahaya di antara gelap gulita, dan dia adalah kegelapan di antara terang benderang. Serta kehampaan adalah sebuah ukiran susu di atas secangkir cafe latte yang pahit namun terasa lembut. Kehampaan membukakan jalan untukku kepada kematian, dan kematian menghantarkanku kepada sebuah pertanyaan tentang tuhan. Tuhan kembali menghadirkan kehampaan di dalam aku.Â
Lantas saat tembok-tembok itu berdiri, aku merasa akrab pada semuanya. Pada kegilaan, pada kebahagiaan, pada kesedihan, pada kehampaan, pada ada dan ketidakadaan, ada dan tiadaku, serta gurita gelap dan genderang terang, aku bersumpah untuk menanti ajalku dengan suka cita.Â
Meski hidup pada akhirnya adalah kesia-siaan untukku, tapi tentu cerita ini juga akan menjadi kesia-siaan apabila tak dinikmati. Sehingga seni pun yang dikatakan indah akan kehilangan cantiknya apabila tak dinikmati.
Demi tembok-tembok yang menjulang tinggi, aku berterima kasih atas ini semua. Sungguh, bersahabat dengan semua rasa adalah tangga menuju nirwana. Dan aku mengecup tembok-tembok itu dengan kebahagiaan hingga meneteskan air mataku yang sudah lama tak pernah tumpah.Â
Namun, dengan seketika tembok-tembok itu runtuh dan aku merasakan kehancuran berada di seklilingku, aku menjadi tak berdaya.Â