Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Di Bawah Cahaya Bulan Seseorang Berduka

23 Juli 2021   18:49 Diperbarui: 5 Februari 2024   23:50 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi cerpen. (sumber: pixabay.com/ambroo)

Ketika opsir tua itu sudah berdiri dua langkah di hadapan lelaki itu, lelaki itu pun akhirnya memilih menyerah, pasrah, kepalanya tertunduk lemas. Tatapan yang semula elang itu kini bagai mata anak kucing mengemis paha ayam. 

Ia menatap opsir dengan teramat pasrah, ia seperti menyerahkan seluruh jiwanya diambil alih oleh si tua buncit itu. Membuat opsir itu merasa sedikit iba, kemudian ia memasukkan revolvernya ke dalam holster di pinggulnya.

Lantas ketika ia hendak memasangkan borgol di kedua tangan lelaki itu, dengan cepat dan keras, kaki kanan lelaki itu menjurus tepat ke arah kelamin si opsir tua. Tak menunggu waktu lama, opsir tua langsung menjerit, meronta-ronta kesakitan. Kedua bijinya yang keriput terasa amat sakit, naik ke perutnya yang buncit. 

Sementara si opsir tua masih melompat-lompat mengerang kesakitan yang cukup lama dirasakannya, lelaki itu tak membuang kesempatan emasnya, dengan sigap ia bangkit sembari menahan sakit, lantas berlari tertatih-tatih seraya terus menekan luka di perutnya. 

Tas hasil curian memang terasa berat di pundaknya, tetapi tak ada apa-apanya dibandingkan beban yang harus ia tanggung melihat air mata anaknya bercucuran. 

Lelaki itu terus berlari tanpa henti. Ia tak peduli dan tak merasa takut bila sewaktu-waktu darahnya habis di tengah-tengah ia berlari dan tewas seketika di jalanan. 

Karena bayangan anak perempuannya, yang dengan anggun mengenakan seragam sekolah, menggendong tas baru, dan topi upacara berwarna merah sebagai mahkotanya terus mengawang-ngawang di kepala plontosnya.

Peluh yang tak tertahan membasahi wajahnya, begitupula bajunya. Kini ia bisa merasakan aroma darah bercampur keringat beterbangan di sekitarannya. 

Sesekali ia melihat ke belakang, si opsir tua itu sudah tertinggal jauh di belakangnya, yang sesekali masih terlihat menahan rasa sakit di perutnya. Hal itu belum memuaskannya, lelaki itu merasa otot-otot kakinya masih kuat untuk berlari puluhan kilo lagi.

Sampai akhirnya, opsir tua yang masih merasakan sakit di perutnya tiba-tiba disambut oleh keseleo di salah satu kakinya, yang memaksanya untuk berhenti dan memilih untuk menutup kerjaannya di malam itu dengan kembali menembakkan satu butir peluru yang melayang dengan presisi ke batang otak si lelaki itu. 

Lelaki itu tewas seketika dengan mata yang terbelanga sempurna dan tangan yang berurat-urat terus mencengkram tas berisi bongkahan perhiasan ratusan juta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun