Beberapa bulan aku telah menganggur, menyebabkan banyak suara-suara yang tak menyenangkan. Dari mereka yang tak yakin membaca cerpen dan artikel yang aku publish di akun kompasiana, karena belum membuahkan hasil. Mereka anggap aku penulis abal-abal. Bagi sebagian orang menganggap, jadi penulis berarti jadi penulis terkenal yang cerita novelnya di filmkan atau mendapatkan gelar best seller pada buku si penulis, barulah itu namanya penulis. Aku mencoba mengabaikan apa yang orang-orang nilai.
Setahun aku menganggur dan hanya menulis cerpen-cerpen, artikel serta satu novel, itupun novel penerbitan indie. Namun yang membuatku bangga, cerpen-cerpen itu dihargai dari lomba, juga berhasil diterima pada beberapa majalah dan Koran. Barulah orang-orang yang menilaiku penulis abal-abal tidak meremehkanku lagi. Meski, penghasilanku dihitung selama setahun tidak seberapa dengan adikku—Nisa, aku mencoba belajar bersyukur.
Hingga akhirnya aku sukses jadi penulis terkenal, setelah menulis dua novel penerbitan indie, karena gagal terus mencoba di penerbit mayor dan novel yang ketiga kalinya, alhamdulilah diterima. Sekarang, penghasilanku dari menulis lebih lumayan dari aku bekerja sebagai pegawai bank. Karena tak hanya menulis, sesekali aku dipanggil beberapa media dan kampus-kampus sebagai pemateri dalam bidang menulis. Dari penghasilanku yang sekarang, aku juga bisa membantu biaya sekolah adikku bersama Nisa dan menggaji pembantu untuk membantu ibu, bila aku lagi benar-benar sibuk. Kalau sudah memilih ibu berarti Tuhan pun ridho, dan bila Tuhan sudah ridho, maka mendatangkan keberkahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI