Mohon tunggu...
NUZUL RAMADANI
NUZUL RAMADANI Mohon Tunggu... Penulis - Orang Biasa

Lulusan Jurusan Universitas Islam Kalimantan. Terserah apa yang kamu nilai tentangku. Jika ku bersalah, katakan saja. 👌

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Ibu atau Karir

7 April 2019   18:04 Diperbarui: 25 Juni 2019   22:33 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                        “Iya pak..”, sahutku.

                        “Itu kucing naik lagi”.

Aku mendengus. Kucing pun juga diurus. Aku mengusir kucing dengan sedikit emosi, karena ada-ada saja yang aku kerjakan. Yah, beginilah kalau bukan anak kos atau bukan anak orang kaya, apalagi kalau ekonomi sedang jatuh, ibu yang sedang sakit dan anggota keluarga yang banyak. Semuanya serba tangan. Masak, nyuci, menjahit sarung bantal yang sudah bolong, hampir semuanya harus dibuat dari tangan sendiri. Tidak seperti yang lainnya, kalau sudah sibuk, mau makan tinggal beli atau sesekali melaundry baju atau pakai pembantu. Terkadang di tengah-tengah mau tidur malam, aku dan Nisa sempat mengeluh. Tapi, kami teringat lagi apa kata pak Ustadz yang kami lihat di youtube, jangan mengeluh dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Karena itu ujian dari Tuhan. Meski kadang aku ingin punya waktu bebas untuk hobiku, tapi hal itu aku kesampingkan, karena kini pikiranku bahwa bekerja lebih penting daripada hobi yang belum pasti mendukung ekonomiku. Bukannya mengejar uang atau dunia, tapi yang namanya keadaan perlu uang untuk keperluan kuliah, mau gak mau kerja didahulukan daripada hobi yang belum diasah.

Selama hampir sebulan kami berusaha melamar disini disana, sebagai tamatan SMK. Mencari pekerjaan yang cocok dengan kemampuan kami dan menyesuaikan dengan waktu kami, itu sulit sekali. Tapi kami tetap sabar mencari pekerjaan yang tepat dari sosial media. Kesabaran dan pantang tak menyerah kami membuahkan hasil. Kami mendapat pekerjaan di tempat yang sama dan itu sengaja, biar bisa berangkat serta pulang bareng. Kerjanya cuma empat jam dan kami bersyukur mendapat pekerjaan yang hanya sebentar. Jadi kami bisa membagi waktu untuk urusan kuliah dan pekerjaan rumah. Kami bisa membeli keperluan kuliah dan kebutuhan kami sendiri dengan menggunakan uang gaji kami, jadi bisa mengurangi beban orang tua. Sesekali, kami membeli makanan untuk ibu, bapak, dan ketiga adik yang masih kecil-kecil.

Waktu berjalan begitu cepat. Kami semakin sibuk, sejak kami mengambil mata kuliah skripsi sekaligus PPL (Program Pengalaman Lapangan). Kami terpaksa harus mengambil cuti kerja selama masa PPL dua bulan setengah. Kami jadi semakin sibuk, malah meninggalkan pekerjaan rumah dengan terpaksa, karena harus mengejar dosen yang tengah ada keberadaanya dan PPL yang tidak bisa dicutikan. Semakin kami tidak mengambil cuti PPL, semakin cepat masa PPL kami kelar. Lelah?, pasti, tapi kami nikmati.

Akhirnya kami wisuda. Kami pun lega dan ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, layaknya teman-teman kami mendapat pekerjaan sebagai tamatan sarjana. Ada yang jadi guru, pegawai PNS, pegawai perkantoran, jadi tutor les, dan lain-lainnya. Kami tergiur seperti teman-teman lain, kami mulai sering izin cuti dan mencari pekerjaan yang lebih tinggi dari pekerjaan sebelumnya, sebagai karyawati pengetikan. Tak butuh waktu lama, kami mendapatkan pekerjaan baru. Aku bekerja di bank hingga larut malam dan adikku—Nisa bekerja di kantor hingga sore. Meski sudah bekerja yang full, kami tetap menyempatkan mengerjakan pekerjaan rumah sebelum berangkat kerja. Tapi setelah dari bekerja, kami tidak melakukan apa-apa lagi karena rasa penat yang merasuki tubuh kami.

Kami senang dengan pekerjaan full ini, kami bisa menabung setiap bulan dari sebagian gaji kami untuk pulang kampung. Kalau pulang kampung, kami harus transit pesawat lagi, jadi biaya tak sedikit untuk pulang dan kami keluarga kecil yang beranggota ramai. Jadi kami benar-benar bekerja dan jarang cuti, agar kami bisa menolong biaya sekolah adik-adik kami dan mengisi tabungan untuk pulang kampung. Bekerja dan bekerja, membuat kami lupa bahwa ibu kami punya keterbatasan untuk tidak melakukan banyak pekerjaan. Hingga suatu hari, ia hanya berbaring terus dari kami bangun hingga mau berangkat bekerja. Ibu mengeluh kakinya sakit, dan sakit bila bergerak, jadi tak kuat untuk kesana-kesini. Itu pasti terlalu banyak yang dikerjakan, semenjak kami bekerja. Tidak ada yang bisa bantu ibu, selain kami, karena keluarga kami pun jauh. Aku pun izin beberapa hari dan Nisa tetap ku suruh bekerja. Minggu depannya, Nisa yang libur dua hari dan aku pula yang bekerja.

Minggu depannya lagi, kami tidak ada yang libur selama seminggu. Tapi, di Minggu depannya, aku memutuskan untuk libur selama dua hari dengan alasan acara keluarga. Aku jadi dihitung banyak libur dalam bulan ini. Tak apa, yang penting ibu bisa terbantui adanya aku di rumah.

Kaki ibu mulai tidak sakit lagi katanya dan menyuruh kami untuk bekerja. Aku dan Nisa tidak percaya, tapi ibu begitu meyakinkan kami. Jika kami terus sering libur, nanti kami di pecat dan kalau di pecat, siapa yang akan bantu ibu untuk membantu sedikit biaya adik-adik yang sudah mulai meninggi. Kami pun normal bekerja kembali seperti semula, tanpa mengambil cuti lagi.

Pada tengah malam di hari Sabtu, aku mendengar rintihan ibu di dapur, ketika aku mau mengambil air minum.

“Haduh, ya Allah.., kakiku sakit”, rintih ibu sembari memeriksa kakinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun