Masyarakat pasti sepakat jika tahun 90'an adalah masa-masa emas bagi dunia anak-anak dan bisa dibilang era paling bahagia, penuh kenangan, dan nostalgia bagi banyak orang. Kalau zaman sekarang, mereka menyebut generasi 90'an dengan julukan 'Gen X'.
Waktu itu, teknologi baru mulai berkembang, tetapi belum sepenuhnya menguasai kehidupan sehari-hari, khususnya anak-anak yang bermukim di pinggiran kota. Banyak anak-anak yang menghabiskan waktu bermain di luar rumah dan bereksplorasi mencoba hal baru yang kebanyakan terbuat dari alam.
Sebagai orang yang mengalami masa anak-anak pada era 90'an, bagi saya bulan Ramadan adalah masa paling spesial dan istimewa.
Pada masa itu guyub warganya sangat kentara. Ketika menunggu azan magrib, kami berbondong-bondong menonton di rumah tetangga yang memiliki tv. Maklum, pada masa itu yang punya tv adalah orang berada. Tak lupa kolak atau bubur mutiara yang masih menjadi hidangan favorit kala berbuka untuk dinikmati bersama-sama.
Namun, tak jarang juga ketika mencoba menumpang untuk menonton tv, si empunya rumah malah menutup pintu-pintu mereka. Saat kami berusaha untuk mengintip dari balik jendela, mereka menutup tirainya. Kasihan.
Bulan Ramadan, kami kerap terlibat dalam berbagai kegiatan keagamaan. Para remaja masih aktif dalam kegiatan remaja masjid yang mengoordinir semua aktivitas keagamaan. Termasuk pada bulan Ramadan, para remaja pada masa itu berinovasi mengadakan program-program yang mengedukasi.
Nah, bagaimana untuk kaum anak-anak? Rutinitas kami hanya bermain dan bersenang-senang. Pada bulan Ramadan, waktu bermain pada masa itu biasanya menjelang berbuka puasa, setelah salat Subuh sepulang dari masjid, atau ketika salat Tarawih. Namun, namanya anak-anak yang tiada mengenal lelah, bahkan siang hari pun kami isi dengan berkumpul dan hanya bermain.
Permainan yang kami mainkan pun bermacam-macam. Ada petak umpet, lompat tali, batu tujuh, bahkan main petasan. Yang paling seru ketika kami berjalan-jalan setelah salat Subuh. Menyelam di empang yang waktu itu masih bening dan mencari ikan kecil di sana. Apalah daya yang kami dapat hanya kecebong.
Favorit saya adalah permainan batu tujuh. Permainan tersebut dimainkan dengan tujuh buah batu kecil yang ditumpuk di atas permukaan tanah. Pemainnya berjumlah setidaknya tiga orang. Cara bermainnya adalah kami mengundi dengan cara melakukan hompipah hingga pemain terbagi menjadi si penjaga dan si pemegang batu. Yang kalah akan bertugas sebagai penjaga tumpukan tujuh batu tersebut. Biasanya berjumlah satu orang saja. Sementara itu, yang menang akan memegang satu buah batu dan melemparkannya ke arah tumpukan batu sampai runtuh. Jumlah pemegang batu bisa lebih dari dua orang.
Setelah melempar, si pemegang batu akan lari dan bersembunyi, sementara si penjaga harus merapikan tumpukan batu tersebut, kemudian mencari para pemegang batu sampai ketemu. Jika penjaga berhasil menemukan tempat persembunyian si pemegang batu, mereka akan berlari adu cepat sampai ke tumpukan batu. Jika si penjaga berhasil menyentuh tubuh si pemegang batu, berarti si penjaga menang dan si pemegang batu tidak berhak mendekati tumpukan batu. Jika si pemegang batu berhasil lolos dan menghancurkan tumpukan batu, berarti si pemegang batu yang menang.
Permainan itu sangat seru dan menyenangkan. Selain penuh adrenalin dan mengundang keringat, batu tujuh juga membuat keceriaan pada bulan Ramadan begitu terasa. Masih terbayang wajah bahagia teman-teman ketika berhasil lolos dari penjaga dan meruntuhkan tumpukan batu. Anehnya, meskipun melelahkan, kami tidak merasa lemas selama berpuasa.
Selain batu tujuh, permainan favorit saya adalah bermain petasan rawit. Sebuah petasan kecil sebesar korek api atau lebih besar sedikit yang diujungnya ada sumbu untuk menyulut api. Kurang lebih bentuknya jadi seperit lilin, tetapi bentuknya kecil sekali.
Cara memainkannya harus dengan bantuan obat nyamuk bakar. Potongan obat nyamuk itu dibakar sampai menyimpan bara yang fungsinya untuk menyulut sumbu petasan rawit. Setelah menyulutnya, kami harus segera melemparkannya. Terlambat sedikit, jari yang memegangnya tidak akan selamat.
Bisa dibilang dulu saya termasuk anak yang jahil. Karena banyak bergaul dengan anak laki-laki, tingkah laku saya pun mengikuti kebiasaan mereka.
Waktu itu setelah salat Tarawih, saya bermain petasan rawit bersama teman-teman. Setelah saya menyulut sumbunya, petasan itu saya lempar untuk menghasilkan ledakan yang mengejutkan.
Hal paling jahil yang saya lakukan adalah melempar petasan itu untuk membuat kaget orang-orang yang pulang tarawih terutama para remaja wanita. Saya harus memanjat pohon kecapi yang berdiri di pinggir jalan dan bertengger di atas ranting. Ketika dari kejauhan saya melihat sekelompok remaja wanita yang pulang tarawih, saya melemparkan petasan yang sudah disulut bara api tersebut. Betapa girangnya mendengar teriakan mereka yang kaget bercampur amarah.
Tak jarang juga ketika bermain petasan rawit, saya melemparkannya untuk mengerjai warga. Setelah berhasil menyulutnya, saya melemparkan petasan tersebut di depan pintu rumah mereka, kemudian berlari sejauh mungkin untuk menghindari amarah.
Namun, kejahilan saya tidak selalu berjalan mulus. Malam itu menjadi malam terakhir saya bertingkah laku sebagai anak-anak yang jahil. Karena terlalu banyak berlari, saya pun berkeringat. Setelah sampai di depan pintu rumah warga yang ke sekian, saya bersiap melempar petasan tersebut setelah menyulutnya. Namun, keringat di tangan saya membuat petasan tersebut menempel dan tidak mau lepas. Akhirnya, karena sumbu yang pendek, petasan itu meledak sebelum saya sempat membuangnya.
Jari saya pun terluka. Jari tengah dan telunjuk sebelah kiri melepuh dan berdarah. Saya pun pulang dalam keadaan menangis. Bukannya disayang dan diobati, Ibu hanya berseru, "Sukurin! Makanya jadi perempuan itu yang kalem di rumah!"
Sejak itu, saya berjanji untuk tidak berbuat jahil lagi dan menjadi wanita paling kalem sedunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H