Mohon tunggu...
Anisah Muzammil
Anisah Muzammil Mohon Tunggu... Editor - Editor/Penulis

Penulis lepas/Editor/Mentor Ibu rumah tangga, 4 anak Penulis buku Jemuran Putus www.instagram.com/anisah_muzammil www.facebook.com/anisah.muzammil

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Dari Batu Tujuh hingga Petasan Rawit

2 April 2023   13:23 Diperbarui: 2 April 2023   13:41 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Pexels with Su La Pyae

Selain batu tujuh, permainan favorit saya adalah bermain petasan rawit. Sebuah petasan kecil sebesar korek api atau lebih besar sedikit yang diujungnya ada sumbu untuk menyulut api. Kurang lebih bentuknya jadi seperit lilin, tetapi bentuknya kecil sekali.

Cara memainkannya harus dengan bantuan obat nyamuk bakar. Potongan obat nyamuk itu dibakar sampai menyimpan bara yang fungsinya untuk menyulut sumbu petasan rawit. Setelah menyulutnya, kami harus segera melemparkannya. Terlambat sedikit, jari yang memegangnya tidak akan selamat.

Bisa dibilang dulu saya termasuk anak yang jahil. Karena banyak bergaul dengan anak laki-laki, tingkah laku saya pun mengikuti kebiasaan mereka.

Waktu itu setelah salat Tarawih, saya bermain petasan rawit bersama teman-teman. Setelah saya menyulut sumbunya, petasan itu saya lempar untuk menghasilkan ledakan yang mengejutkan.

Hal paling jahil yang saya lakukan adalah melempar petasan itu untuk membuat kaget orang-orang yang pulang tarawih terutama para remaja wanita. Saya harus memanjat pohon kecapi yang berdiri di pinggir jalan dan bertengger di atas ranting. Ketika dari kejauhan saya melihat sekelompok remaja wanita yang pulang tarawih, saya melemparkan petasan yang sudah disulut bara api tersebut. Betapa girangnya mendengar teriakan mereka yang kaget bercampur amarah.

Tak jarang juga ketika bermain petasan rawit, saya melemparkannya untuk mengerjai warga. Setelah berhasil menyulutnya, saya melemparkan petasan tersebut di depan pintu rumah mereka, kemudian berlari sejauh mungkin untuk menghindari amarah.

Namun, kejahilan saya tidak selalu berjalan mulus. Malam itu menjadi malam terakhir saya bertingkah laku sebagai anak-anak yang jahil. Karena terlalu banyak berlari, saya pun berkeringat. Setelah sampai di depan pintu rumah warga yang ke sekian, saya bersiap melempar petasan tersebut setelah menyulutnya. Namun, keringat di tangan saya membuat petasan tersebut menempel dan tidak mau lepas. Akhirnya, karena sumbu yang pendek, petasan itu meledak sebelum saya sempat membuangnya.

Jari saya pun terluka. Jari tengah dan telunjuk sebelah kiri melepuh dan berdarah. Saya pun pulang dalam keadaan menangis. Bukannya disayang dan diobati, Ibu hanya berseru, "Sukurin! Makanya jadi perempuan itu yang kalem di rumah!"

Sejak itu, saya berjanji untuk tidak berbuat jahil lagi dan menjadi wanita paling kalem sedunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun