"Mungkin mereka telah bosan melihat saya di sini," ujarnya seraya terkekeh. "Sayangnya, sudah jauh ke sini, ternyata enggak bisa naik."
Bunga mengamati sebuah tas ransel yang disandang Farhan di punggungnya. Tampilan Farhan yang lengkap termasuk sepatu khusus untuk mendaki gunung meyakinkan Bunga kalau laki-laki itu memang tidak berdusta. Namun, kali ini Bunga telah memutuskan untuk tidak luluh begitu saja.
"Ingin keluar pulau, sepertinya tidak ada kapal yang pergi ke seberang. Jadi mau tidak mau, saya harus di sini menunggu kapal datang untuk mengantar."
Farhan terus mengoceh. Bunga mulai gerah. Amarahnya kembali tersulut.Â
"Saya sudah dua belas kali menikah. Jadi saya tahu, Anda pria macam apa!" tegasnya.
Bunga menunggu reaksi Farhan. Namun, raut muka lelaki itu tak berubah sedikit pun. Ekspresi wajah Farhan itu tetap tenang dan teduh. Senyumnya terus terukir meskipun matanya lurus ke depan menikmati pemandangan gunung.
"Baiklah! Sepertinya Mbak ini tidak ingin diganggu. Sebaiknya saya pamit saja."
Farhan bangkit seraya membersihkan butiran pasir yang menempel di celananya. Tiba-tiba Bunga merasa takut sendirian. Secara refleks dia memegang tangan Farhan untuk mencegahnya pergi.
"Ma-maaf! Eh, maksud saya ... saya tidak terganggu sama sekali. Maaf jika tadi saya sangat kasar." Bunga melepas tangan lelaki itu dengan gugup.
Entah siapa yang memulai, akhirnya mereka pun mengobrol panjang lebar. Saling bercerita tentang diri masing-masing. Dari Farhan, Bunga tahu kalau lelaki itu memiliki penyakit yang sama dengannya. Farhan merasakan hal yang sama dengan Bunga. Rasa minder, sendirian, terpuruk, dan merasa dijauhi.
"Jika berada di suatu perkumpulan, saya merasa mereka membicarakan keburukan tentang saya, padahal sebenarnya tidak." Farhan mengutarakan apa yang dialaminya sama dengan apa yang dialami Bunga.