Lalu, apakah saya mengajarkan anak berpuasa dengan jalan yang mulus dan tanpa drama? Oh, tentu tidak!
Mereka sempat merengek. Namun, kami harus 'tega' demi mengajarkan anak kebaikan. Kami sepakat, tidak ada puasa setengah hari. Jika puasanya tidak satu hari penuh, apalagi tidak sampai tiga puluh hari. Hadiah batal!
Tahun-tahun pertama mengajarkan anak-anak kami adalah ketika mereka berusia empat tahun. Biasanya kami sounding mereka dari usia tiga tahun dengan menjadikan kakaknya sebagai teladan mereka.
"Lihat! Mas-nya puasa. Tahun depan nanti, Adek puasa Ramadan, ya!"
Begitu Ramadan tiba, anak-anak sudah mengerti kalau mereka harus menjalankan 'kewajiban' puasa. Pada tahun pertama itulah drama dimulai. Mereka mengeluh lapar dan haus. Waktu itu, anak kedua kami berkata, "Rasanya mau pingsan karena lapar!"
Saya tidak lantas bilang, 'enggak boleh makan' ataupun mengizinkannya. Namun, saya ajak mereka berdialog.
"Yang namanya puasa itu pasti lapar. Namanya juga menahan lapar. Nah, selama lapar itu kalian harus menahannya." Saya menjelaskan pelan-pelan tentang makna puasa.
"Tapi kalau enggak bisa tahan, gimana, Nda?" tukas mereka.
"Ya, enggak apa-apa. Makan aja. Tapi risikonya kalian enggak dapat hadiah dari Bunda. Pahala dari Allah juga ikut batal."
Salah satu dari mereka pun merenung.
Lalu saya melanjutkan, "Lagian, percaya deh sama Bunda. Kalau kalian makan sekarang, yang ada kalian hanya menyesal karena enaknya cuma sampai tenggorokan. Nikmatnya pun cuma sebentar. Coba bandingkan kalau makannya nanti ketika azan Magrib. Pasti nikmat banget."
Saya hanya mengamati ekspresinya ketika berpikir. Jadi orang tua harus bisa teguh pendirian. Oleng sedikit saja, hal itu akan membuat anak menjadi manja dan terus bergantung pada orang lain. Biarkan mereka berpikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri.