Mohon tunggu...
Anisah Muzammil
Anisah Muzammil Mohon Tunggu... Editor - Editor/Penulis

Penulis lepas/Editor/Mentor Ibu rumah tangga, 4 anak Penulis buku Jemuran Putus www.instagram.com/anisah_muzammil www.facebook.com/anisah.muzammil

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Menghadapi Drama Anak yang Belajar Puasa

25 Maret 2023   10:13 Diperbarui: 25 Maret 2023   11:21 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

"Nda! Syamil hadiah puasanya ini aja, deh," seru bocah berusia 6 tahun seraya menyodorkan layar ponsel yang menampilkan salah satu marketplace.

"Ganti lagi?" tanya saya. Anak itu pun mengangguk malu seraya tersenyum.


Bulan ini adalah tahun ketiga Syamil berpuasa penuh satu hari. Waktu itu dia sibuk memilih hadiah jika berhasil puasa 30 hari. Saya pun ikut geli melihat tingkahnya karena pada saat itu, dia sudah mengganti hadiah puasanya sampai 20 kali. Apa pun itu, saya girang melihat antusias dia memilih hadiah. Artinya, dia akan memiliki usaha untuk menyelesaikannya sampai akhir.


Syafiq, kakaknya yang berusia satu tahun di atas Syamil juga sudah memasuki tahun ke-4 berpuasa di bulan Ramadan. Keempat buah hati, kami ajarkan berpuasa sejak dini, yakni pada usia 4 tahun. Semoga diberi kesehatan dan diberikan kemudahan sehingga mereka bisa berpuasa selama satu bulan penuh.


Tahun lalu malah ada acara mudik. Perjalanan dari Bogor ke Banyuwangi menggunakan transportasi mobil sangat menguras raga dan emosi. Mereka yang pada saat itu berusia 5 dan 6 tahun tidak merengek ketika kami harus berhenti di rest area untuk melakukan shalat Zuhur. Begitu juga dengan kedua kakaknya yang usianya jauh lebih tua.


Saya mengamati mereka yang hanya menatap orang-orang menikmati makan siang dengan gembira. Ayahnya sempat kasihan. Apalagi hidung ini terpaksa mengendus aroma masakan yang terbawa angin. Wangi. Mereka juga pasti menciumnya. Terus terang, kami juga tergoda.


Sebenarnya pada saat itu, kami berencana mengambil rukhsah sebagai bagian dari safar. Tidak apa-apa tidak berpuasa satu hari. Kami akan menggantinya pada lain hari. Bukankah orang yang terkena safar mendapat keringanan untuk tidak berpuasa?


Namun, anak kami malah tidak ada yang merengek minta makan. Akhirnya kami sepakat, selama mereka tidak bilang, 'lapar', kami akan tetap berpuasa sampai azan Magrib. Meskipun kami menyetir bergantian, suami sudah cukup haus menghadapi jalanan yang macet di bawah matahari yang terik.


Tega enggak, sih? Sebenarnya enggak. Namun, kami jadikan ini sebagai bagian dari pengajaran menghadapi ujian dan kesulitan. Kelak, jika mereka beranjak dewasa dan tidak lagi didampingi orang tua, mereka bisa mengatasi kesulitan tersebut tanpa bantuan orang lain. Mereka bisa menahan kesabaran dalam menjalani kerasnya hidup.


Pada saat Magrib, kami berhenti lagi di rest area berikutnya dan memberikan mereka makanan yang enak-enak.


Ada iming-iming hadiah? Pasti ada! Kenapa, enggak? Hadiah yang akan diberikan ketika mereka berhasil berpuasa selama 30 hari penuh tanpa batal satu hari pun, kecuali jika mereka sakit.


Lalu, apakah saya mengajarkan anak berpuasa dengan jalan yang mulus dan tanpa drama? Oh, tentu tidak!


Mereka sempat merengek. Namun, kami harus 'tega' demi mengajarkan anak kebaikan. Kami sepakat, tidak ada puasa setengah hari. Jika puasanya tidak satu hari penuh, apalagi tidak sampai tiga puluh hari. Hadiah batal!


Tahun-tahun pertama mengajarkan anak-anak kami adalah ketika mereka berusia empat tahun. Biasanya kami sounding mereka dari usia tiga tahun dengan menjadikan kakaknya sebagai teladan mereka.


"Lihat! Mas-nya puasa. Tahun depan nanti, Adek puasa Ramadan, ya!"


Begitu Ramadan tiba, anak-anak sudah mengerti kalau mereka harus menjalankan 'kewajiban' puasa. Pada tahun pertama itulah drama dimulai. Mereka mengeluh lapar dan haus. Waktu itu, anak kedua kami berkata, "Rasanya mau pingsan karena lapar!"


Saya tidak lantas bilang, 'enggak boleh makan' ataupun mengizinkannya. Namun, saya ajak mereka berdialog.


"Yang namanya puasa itu pasti lapar. Namanya juga menahan lapar. Nah, selama lapar itu kalian harus menahannya." Saya menjelaskan pelan-pelan tentang makna puasa.


"Tapi kalau enggak bisa tahan, gimana, Nda?" tukas mereka.


"Ya, enggak apa-apa. Makan aja. Tapi risikonya kalian enggak dapat hadiah dari Bunda. Pahala dari Allah juga ikut batal."
Salah satu dari mereka pun merenung.


Lalu saya melanjutkan, "Lagian, percaya deh sama Bunda. Kalau kalian makan sekarang, yang ada kalian hanya menyesal karena enaknya cuma sampai tenggorokan. Nikmatnya pun cuma sebentar. Coba bandingkan kalau makannya nanti ketika azan Magrib. Pasti nikmat banget."


Saya hanya mengamati ekspresinya ketika berpikir. Jadi orang tua harus bisa teguh pendirian. Oleng sedikit saja, hal itu akan membuat anak menjadi manja dan terus bergantung pada orang lain. Biarkan mereka berpikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri.


Mengenai tips? Sebenarnya tidak ada tips khusus bagaimana mengajarkan anak berpuasa sejak dini. Karena tips yang berhasil di keluarga saya, belum tentu berhasil di keluarga lain. Karena yang tahu bagaimana anak-anak adalah kita sendiri, kitalah yang tahu cara bagaimana mengajarkan mereka.


Yang pasti, jangan memaksa, jangan juga membiarkan. Jangan cepat kasihan. Tanamkan pada diri anak-anak bahwa berpuasa adalah kebutuhan dan kebaikan untuk diri mereka sendiri.


Kita juga jangan cepat stres jika anak menangis. Jangan lantas diberi peluang jika mereka menggunakan tangisan agar kebutuhannya dipenuhi. Alihkan dengan hal lain yang mampu membuat anak lupa kalau mereka lapar.


Satu lagi, jangan lupa berdoa! Minta kemudahan dari Allah Ta'ala agar diberikan kelancaran dalam mengajarkan anak berpuasa. Intinya tergantung bagaimana sikap orang tua. Mengajarkan anak berpuasa sejak dini artinya mengajarkan tentang segala hal.

Kita mengajarkan mereka bentuk sabar. 

  • Mengajarkan mereka bagaimana menghargai makanan.
  • Kita juga memberikan pengajaran untuk mereka tentang menahan lapar dan haus, serta hawa nafsu. 
  • Mengajarkan ketegasan agar mereka tak memiliki sikap plinplan. 
  • Mereka pun juga belajar bahwa jika sabar melewati ujian, akan ada balasan menanti. Balasan berupa pahala atau hadiah yang mereka impikan.


Belum berhasil mengajarkan anak berpuasa satu bulan penuh pada tahun ini? Tidak apa-apa. Coba lagi pada tahun berikutnya. Sounding jauh hari sebelum Ramadan tiba. Coba terus sampai anak mengerti. Semangat, ya, Moms!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun