Dua film dokumenter ini menyoroti sebuah persoalan dari sudut pandang tertentu dan ini kemudian dilanjutkan dengan diskusi barengnya.
Menggaris bawahi keadaan sosial budaya Indonesia dengan perjalanan waktu yang lumayan panjang, kedua film ini memang memberikan warna tersendiri, bagi generasi yang belum pernah mengalaminya.Â
Mereka mendapatkan hal-hal baru terkait politik dari masing-masing penguasanya.
Walaupun sesekali dari salah satu nara sumber ada penekanan kata "rezim", namun menurutku itu hanyalah dari pengalaman pribadinya saja, sehingga membekas dan terasa dalam pembuatan setiap filmnya. Ada kritik tajam kepada penguasanya yang dinilai "rezim".
Ini membuat berpikir, bagaimana sosok  Agustinus Wibowo , lebih dewasa dalam menghadapi perjalanan kehidupan pribadinya, sehingga tidak menyalahkan penguasa ataupun "rezim", jika mengutip istilah nara sumber tersebut.
Memaafkan dan mencoba memahami dari sudut pandang berberda memang amat sulit dilakukan oleh manusia dan ini terasa sekali bagaimana Agustinus Wibowo telah melampaui hal tersebut.
Ini menjadikan sudut pemikirannya dari keseluruhan nara sumber yang hadir, terasa lebih menonjol.
Kemudian dari tokoh utama film Puan Hayati , pengunjung dapat merasakan bagaimana seorang gadis masih berpegang pada budaya Jawa. Terasa pemikirannya jauh lebih dewasa juga dari gadis-gadis lain seusianya dan jauh ke depan.
Sosok ini, sebagaimana orang Jawa yang telah sepuh, memadukan kenyataan dengan pribadi dalam dirinya. Menjadikannya sosok pribadi yang luar biasa.
Pancaran keteduhan hati dapat terasa dan membuat hangat hati semua pengunjung. Masa depannya akan terang dan baik, jika ia terus menatap kehidupan ini dengan cara seperti ini.