Mohon tunggu...
Nuty Laraswaty
Nuty Laraswaty Mohon Tunggu... Penulis - Digital Marketer , penulis konten

owner my own law firm,bravoglobalteam founder,trainer network marketing, trading, speaker in radio program( heartline fm - gaya fm) and multiply seminars,mc

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pemutaran Film "Perempuan Nelayan" yang Mengundang Kontroversi

9 Februari 2018   14:43 Diperbarui: 9 Februari 2018   14:53 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di lapangan sendiri, dari pemutaran video dan data-data yang termuat dalam Buku Jurnal Perempuan 95, ternyata kaum perempuan juga melakukan hal-hal yang sama seperti kaum laki-lakinya, bahka lebih berat lagi karena urusan rumah tangga dan pengasuhan anak-anak dibebankan hampir sebagian besar kepada mereka.

Disini, bisik-bisik mulai ramai. Mengapa? Karena yang dikejar (seolah dalam pemutaran film ) dengan tujuan penulisan dalam KTP kaum perempuan dengan pekerjaan Nelayan adalah asuransi yang nilai uangnya baru dapat diperoleh apabila Nelayan tersebut meninggal.

Beberapa perempuan ada yang tidak setuju dengan yang dilakukan oleh perempuan dalam film ini maupun dalam diskusi selanjutnya setelah pemutaran video. Namun ada yang menyampaikan dan ada juga yang hanya berdiskusi antara mereka.

Sayapun membaca Siaran Pers yang diberikan kepada saya.

Lembar Siaran Pers
Lembar Siaran Pers
Dalam paragaf 4 tertulis

"Kehadiran Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak garam adalah sebuah kemajuan. Undang-Undang ini memiliki semangat untuk melindungi hak-hak nelayan kecil sebagai salah satu kelompok rentan. Sayangnya implementasi kebijakan belum menggapai perempuan nelayan. Definisi nelayan dalam undang-undang tersebut dibatasi hanya pada pekerjaan menangkap ikan yang diasosiasikan sebagai dunia profesi laki-laki. hal ini membuat perempuan nelayan tersingkir dari kategori nelayan. Pendefinisian nelayan perlu memasukkan perpektif gender. Dengan perspektif gender maka definisi profesi nelayan harus menyertakan peran dan kontribusi perempuan nelayan. Kebijakan publik yang ideal harus dapat menghapuskan diskriminasi gender dan menghasilkan keadilan bagi seluruh warga negara."

Bagi peserta yang keberatan, (saya ambil keberatan yang paling positif dan melepaskan atribut agama) adalah, mengapa harus menunggu sampai terjadi kejadian wafat dahulu, baru setelah itu asuransi turun, keluarga mereka mendapatkan manfaat. Bukankah manfaat bisa diberikan dengan memberikan pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan keterampilan dan daya jual dari produk-produk tangkapan yang diperoleh. Komentar ini timbul, karena penekanan dalam film ini seolah adalah dipersoalan asuransi tersebut.

Salah seorang peserta menanyakan, dan dijawab dalam diskusi yang menimbulkan gelombang ketidakpuasan lagi seperti. *(Saya tulis dalam bahasa yang sudah diperhalus)

"Loh, Bapak narasumber kok malah melarang anak-anak yang sekolah untuk meninggalkan dunia nelayan? dengan alasan, siapa lagi yang meneruskan budaya nelayan, jika anak-anak diberikan pendidikan. Bukankah itu hak mereka, anak-anak itu, untuk memilih terus jadi nelayan atau tidak jadi nelayan?"

"Loh, kok ngeles , karena kita berikan pertanyaan dan jawabannya muter-muter?".

Saya pribadi menangkap kurang lebih maksud nara sumber, hanya sayangnya penyampaiannya terlalu penuh pembelaan akan aktifitas yang dilakukan dalam film tersebut, ataupun pembelaan atas penulisan dalam Jurnal Perempuan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun