Mohon tunggu...
triturawan karso
triturawan karso Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati sosial dan lingkungan

Pemerhati masalah sosial dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Money

Masalah Data dan Rasa

4 Maret 2018   08:58 Diperbarui: 4 Maret 2018   09:19 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Banyak data banyak kata, 

Banyak kata banyak perdebatan, 

Banyak debat banyak musuh, 

Banyak musuh banyak korban, 

Banyak korban Banyak biaya, 

Banyak biaya rakyat menderita. 

Ya pokoknya seperti itulah urutannya kalau negara ini terlalu banyak data yang di keluarkan. Data itu menggambarkan situasi ekonomi kita sedang naik atau sedang turun. Data akan menggambarkan negara ini perlu beras atau surplus beras. Data menggambarkan 20 tahun lagi perlu listrik atau kelebihan listrik. Data menggambarkan negara ini bisa bayar utang atau bisa kasih utang...

Polistisasi data akan merubah semuanya. Data yang kurang bisa menjadi "sesungguhnya kita sudah berhasil hanya...." dan data yang lebih akan menjadi " karena bekerja keras maka periode kami berhasil...." atau lebih ekstrim lagi " angka ini kan peninggalan masa lalu......". Itulah bunyi nyanyian yang mirip mirip lagu berjudul HOAX.

Data berbeda dengan Rasa . Rasa ada karena data tetapi belum tentu rasa mencerminkan data. Apabila ada slogan "lewih enak jamanku tho?"...ini berbicara rasa karena tingkat kemiskinan, nilai tukar petani, harga dollar dan nilai ekspor impor tidak ditayangkan datanya. Atau slogan " Lebih Cepat Lebih Baik", akan terasa semen ada di mana mana, BBM sama harganya , listrik tersedia. Lebih tidak  dimengerti kalau slogan "Gitu saja kok repot..." yang ini membuktikannya susah, mana rasa mana data.

Bagaimanapun berbicara data, bagaimanapun data di politisasi , bagaimanapun data ada dimana-mana semua itu yang merasakan ya rakyat. Data investasi trilyunan rupiah tapi kalau "mel" di jalan masih tetap ada ya tidak terasa ribuan kilometer jalan tol telah di bangun karena ujung-ujungnya biaya lebih memberatkan rakyat. 

Kalau data sekolah gratis, kesehatan gratis dan gratis lainnya tapi mengurusnya memakan waktu dan penuh ancaman ya ujung-ujungnya harus ada"pelicin" agar tidak bolak balik kurang berkas dan antri sampe sore.

Rasanya menurut kisah penjajahan jaman kolonial yang penuh upeti dan ancaman serta kerja rodi tidak jauh beda dengan jaman now. Kalau mayit-mayit jaman kolonial itu hidup lagi pasti lebih memilih "rest" daripada menghadapi kolonialisme baru.  Dulu ancaman kolonial adalah fisik dan perampasan hak. Pada jaman now ini untuk mendapatkan kehidupan satu hari maka harus kerja minimum 8 jam, untuk dapat mimpi beli rumah harus kerja 16 jam belum lagi dapat rumah tipe 21 yang jaraknya dari tempat kerja 3 jam. Seseorang pekerja muda yang baru harus membayar banyak iuran yang di balut dengan istilah "gotong-royong, yang kuat membantu yang lemah", melapor pajak dan harta kekayaan. Pokoknya ada penghasilan kenain pajak, pokoknya beli barang kenain pajak, parkir sepeda motor kenain ongkos parkir. Jaman kolonial itu juga ribet....tapi ribetnya gak sebanyak saat ini.

Kembali ke rasa karena rakyat yang merasakan harga-harga naik, rakyat yang merasakan transpotrasi tidak efisien, rakyat yang berasakan setiap beli sesuatu kena pajak, rakyat yang merasakan mengurus sesuatu memakan waktu lama, rakyat yang merasakan banyak sekali iuran dan beban biaya listrik, pdam, pbb, sampah maupun iuran tanah makam...minta ampun dah.

RASA memang berbeda dengan DATA seperti Kecap dalam Botol.......tetap di tulis sebagai data  KECAP NOMOR SATU

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun