Mohon tunggu...
Nusa Putra
Nusa Putra Mohon Tunggu... -

Syukuri dan nikmati hidup

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Banjir: Pekat dan Pelit

19 Januari 2014   18:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:40 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

BANJIR: PEKAT DAN PELIT

Selama Jakarta dilanda banjir, banyak siaran langsung dari tempat-tempat yang dilanda banjir. Siaran langsung itu dilakukan oleh sejumlah stasiun televisi dan radio. Siaran langsung dilakukan dari banyak tempat. Mulai dari daerah yang tergolong kelas bawah di pinggiran kali Ciliwung, sejumlah jalan protokol, sampai daerah kelas atas seperti Kelapa Gading, Pluit, dan Sunter. Semua siaran langsung itu menunjukkan atau mendeskripsikan suasana banjir.

Ada yang menarik dari siaran langsung itu. Para reporter tampaknya sangat ingin memberi penjelasan apa yang membuat banjir dari tahun ke tahun bertambah parah. Di pemukiman masyarakat kelas bawah di sekitar Ciliwung, sang reporter memberi komentar dan penilaian yang cenderung menyalahkan masyarakat. Beberapa di antaranya adalah, masyarakat melanggar aturan karena menepati daerah aliran sungai, masyarakat terkesan bandel karena selagi air belum tinggi tidak mau dievakuasi, masyarakat tidak disiplin dan membuang sampah sembarangan, masyarakat bertahan tidak mau pindah padahal sudah disediakan tempat tinggal yang layak, dan sejumlah komentar miring lain.

Komentar yang sama muncul saat membahas upaya Pemda DKI Jakarta yang hendak mengembalikan fungsi waduk. Masyarakat disebut membandel dan tidak mengindahkan peraturan. Berbagai sikap masyarakat ini ditengarai menjadikan solusi banjir yang tengah diusahakan belum dapat berfungsi optimal. Masyarakat lebih banyak digambarkan sebagai penghambat upaya mengatasi banjir, ya tentu saja masyarakat dari kalangan bawah.

Pada kala reporter melaporkan banjir yang melanda wilayah kelas atas yang merupakan pemukiman mewah seperti Kelapa Gading, Sunter, dan Pluit, reporter lebih banyak berbicara tingkat kerugian yang besar, kerepotan para penghuni kawasan mewah itu menghadapi banjir, dan penjelasan panjang tentang mobil-mobil mereka yang terendam air. Patilah komentar itu disertai gambar mobil-mobil yang tenggelam sampai separuh badan mobil, bahkan lebih.

Anehnya, tidak ada satu pun komentar yang miring seperti diungkapkan waktu melaporkan suasana banjir di daerah masyarakat kelas bawah. Mengapa para reporter tidak mempertanyakan, apakah pembangunan perumahan mewah ini sudah sesuai aturan? Bukankah daerah rumah mewah ini dahulunya adalah daerah resapan air? Mengapa tidak dipertanyakan, apakah para pengembang perumahan mewah itu sudah memenuhi kewajiabannya untuk menyediakan daerah hijau untuk resapan air, atau jalan air sebagai pengganti jalan air yang diurug untuk perumahan mewah ini? Mengapa tidak ada pertanyaan tentang berapa banyak  sampah yang diproduksi dari pemukiman mewah ini? Apakah para reporter tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu bahwa pembangunan pemukiman mewah ini telah membuat banyak pemukiman di sekitarnya banjir. Padahal sebelum ada kompleks perumahan mewah, pemukiman ini tidak pernah banjir? Reporter juga seakaan lupa sikap sejumlah penghuni pemukiman mewah beberapa tahun lalu yang membuang air banjir dengan pompa air ke pemukiman penduduk.

Seakan masayarakat kelas atas ini dengan perumahan mewahnya tidak menjadi penyebab atau pemicu makin parahnya banjir Jakarta. Disengaja atau tidak, masyarakat kelas bawah digambarkan sebagai fihak yang lebih banyak memberikan kontribusi negatif terhadap tragedi banjir Jakarta yang berulang setiap tahun.

Masyarakat kelas bawah memang selalu dijadikan korban dan fihak yang bersalah. Dalam konteks itulah untuk mereka sampai dibuatkan istilah khusus yaitu pekat atau penyakit masyarakat. Tampaknya singkatan pekat itu bukan kebetulan dibuat seperti itu. Pekat itu kan menggambarkan sesuatu yang negatif, lawan dari jernih. Coba perhatikan, mengapa Pusat Kesehatan Masyarakat disingkat jadi Puskesmas, bukan Puskeskat? Mestinya bila mau konsisten dalam penyingkatan, penyakit masyarakat itu singkatannya pemas, bukan pekat. Tampak sangat jelas, pembuatan singkatan menjadi pekat merupakan upaya menyudutkan masyarakat. Ingatlah, singkatan ini dibuat oleh rezim yang pura-pura demokratis padahal diktator yaitu orde baru yang didukung penuh oleh Golkar!

Pemberian stigma seperti itu pada masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah adalah upaya sistematis untuk menunjuktegaskan bahwa masyarakatlah yang selalu salah, dan pemerintah pasti benar. Secara tidak langsung sebenarnya pemerintah mau menanamkan prinsip yang isinya adalah, satu, pemerintah pasti benar. Dua, bila pemerintah salah, kembalilah ke prinsip nomor satu. Ini kan cara-cara diktator.

Coba Perhatikan bagimana istilah pekat itu selama ini digunakan. Bila mendekati dan selama bulan Ramadhan, pihak keamanan melakukan pemberantasan terhadap pekat. Itu berarti pelacuran jalanan, penjual minuman keras pinggir jalan, karaoke murahan, dan tempat joget di bawah jembatan atau di pinggiran rel kereta api diporakporandakan, serta pelacuran di horel melati dirazia habis-habisan. Apakah pelacuran di hotel berbintang, karaoke dan diskotik di tempat mewah pernah disentuh? Padahal di tempat-tempat mewah itu penyakitnya lebih parah. Peredaran narkoba dalam skala besar, mana mungkin terjadi di tempat ronggeng pinggir jalan. Pelacur mancanegara mana brani praktik di hotel melati.

Menyedihkan dan sangat memprihatinkan bila kini, media massa makin sering menggunakan istilah pekat persis seperti yang dilakukan oleh orde baru. Cobalah lihat dengan cermat dan jernih, bukankah penyakit elit atau pelit yang telah merusakhancurkan negara ini?

Coba bandingkan dan hitung secara matematis kontribusi penyakit elit atau pelit dan pekat terhadap makin parahnya banjir di Jakarta. Berapa banyak wilayah yang ditempati masyarakat bawah yang ditengarai menjadi pemicu meluasnya banjir. Bandingkan dengan akibat pelit berupa pembangunan mal, apartemen, pemukiman mewah di daerah yang dulunya merupakan resapan air di Jakarta. Apakah jor-joran pembangunan semua kemewahan itu rasional dan sungguh menguntungkan masyarakat banyak? Ini semua kan bisa dikalkulasi menggunakan matematika dan statistika.

Pada wilayah yang kebih makro, coba bandingkan kerugian akibat copet jalanan, pencuri kecil-kecilan, penodongan di kendaraan dan sejumlah kejahatan kecil lain yang sering jadi sorotan di media massa dan disebut sebagai pekat, dengan kerugian yang diakibatkan pelit seperti yang dilakonkan oleh Ketua MK, Gubernur Banten dan adiknya, Kepala SKK Migas, Ketua Umum, Bendahara, Menteri dan Anggota DPR dari Partai Demokrat, dan elit partai Golkar, PKS, PAN dan sejumlah kepala daerah, serta pejabat-pejabat lain yang merupakan kaum elit. Semua ini membuktikan bahwa,

NEGERI INI LEBIH BANYAK DIRUSAK PELIT DARIPADA PEKAT!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun