Mohon tunggu...
Nusantara Mulkan
Nusantara Mulkan Mohon Tunggu... Lainnya - Orang Biasa Aja

Sebagian tulisan saya yang ada di sini pernah dimuat di sejumlah media. Walaupun sedikit saya modifikasi kembali.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Teroris Narsistis, Sebuah Tren Baru?

18 Januari 2016   07:02 Diperbarui: 20 Januari 2016   14:51 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pelaku teror kini berani menunjukkan wajahnya di depan umum (Xinhua)"][/caption]Aksi teror kembali menyerang Ibu Kota. Tidak hanya peledakan, pelaku teror juga menyerang masyarakat sipil dan polisi dengan menggunakan senjata api. Inilah untuk pertama kalinya di Tanah Air aksi teror dilakukan, baik dengan bom dan juga penyerangan langsung di tempat terbuka.

WAJAHNYA terlihat dingin dan tanpa ekspresi. Di tangannya tergenggam sepucuk senjata api yang ditembakkan ke arah polisi di area terbuka yang ada di Jl Thamrin, Jakarta, yang merupakan kawasan jantung Ibu Kota. Pria berkaus hitam, mengenakan topi hitam berlogo Nike, dan menyandang ransel itu terabadikan kamera sejumlah wartawan, salah satunya Xinhua, yang mendadak menjadi viral di dunia maya.

Dia muncul dari kerumunan massa, beberapa saat setelah ledakan terjadi di pos polisi yang ada di seberang pusat perbelanjaan Sarinah. Belakangan, namanya diketahui sebagai Afif alias Sunakim, yang kemudian terlibat baku tembak dengan polisi hingga kemudian tewas dalam keadaan tersenyum, seperti foto yang beredar.

Informasi terakhir Polri menyebut, Afif berasal dari Dusun Kalensari, Compreng, Subang, Jawa Barat, dan tinggal bersama istri dan seorang anak di Karawang. Dia diketahui pernah dipenjara di LP Cipinang dalam kasus pelatihan paramiliter di Aceh pada 2008 dan keluar pada Agustus 2015. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Anton Charliyan pun memastikan, dua dari lima pelaku teror yang tewas di lokasi pada 14 Januari 2016 lalu adalah residivis kasus terorisme.

Baiklah, apapun status mereka, saya tidak ingin mencoba lebih jauh membicarakan hal tersebut. Melainkan pola aksi yang dilakukan pelaku, yang notabene adalah pelaku teror yang telah mengakibatkan meninggalnya dua warga sipil serta melukai 26 orang lainnya.

Berdasarkan hasil rekaman kamera pemantau (CCTV) di sejumlah gedung yang diteliti Polri, peristiwa itu dimulai ketika pada sekitar pukul 10:39 WIB terjadi ledakan di gerai Starbucks Coffee, yang ada di kawasan gedung Skyline. Yang berselang 11 detik kemudian terjadi ledakan di Pospol Lantas Jl MH Thamrin.

Setelah Jl MH Thamrin ditutup petugas pada kedua arahnya, sekitar pukul 10:48, dua orang yang membawa ransel—diduga Afif dan Muhamad Ali—muncul dari arah kerumunan massa. Selanjutnya, Afif menembak dua personel polisi yang ada di sana. Sementara Ali berlari ke area dalam Starbucks kemudian menembak Amer Quali Tahar (WN Kanada) dan Yohanes Antonius Maria (WN Belanda).

Pada pukul 10:58, sejumlah polisi mendekati area depan serta samping Starbucks, disusul pelemparan bom ke seorang polisi yang mendekat serta ke mobil Kabag Operasional Polres Metro Jakarta Pusat yang baru merapat ke lokasi. Selanjutnya terjadi aksi baku tembak selama 11 menit antara pelaku yang bersembunyi di halaman parkir dan tepi kaca Starbucks dengan sejumlah polisi di luar Starbucks.

Di detik-detik terakhir peristiwa layaknya di film-film laga tersebut, terjadi dua ledakan susulan. Saat seorang pelaku berusaha melemparkan bom ke arah polisi, namun gagal karena lebih dulu terkena tembakan polisi. Seorang pelaku lainnya juga mengalami hal yang sama. Akibatnya, kedua bom meledak di tangan kedua pelaku.

Pertama Kalinya
Menilik apa yang terjadi berdasarkan pengamatan kamera pemantau tersebut, dapat disimpulkan bahwa inilah untuk pertama kalinya di Tanah Air dalam 15 tahun terakhir, aksi terorisme dilakukan secara terbuka oleh pelaku. Karena aksi teror yang selama ini terjadi dilakukan dengan cara melakukan peledakan tanpa dilanjutkan penyerangan oleh pelaku, baik kepada polisi maupun warga di sekitar lokasi. Namun kini, pelaku melakukannya pada siang hari, di ruang terbuka, ledakkan bom bunuh diri, dan memberondong ke arah polisi dan warga dengan senjata api.

Peristiwa terbuka lainnya yang pernah dilakukan pelaku hanya pada aksi pembajakan pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla pada 28 Maret 1981 oleh lima pelaku yang menyamar sebagai penumpang. Mereka bersenjatakan senapan mesin dan granat yang menyebabkan seorang kru pesawat tewas, seorang tentara komando tewas, dan tiga pelaku tewas.

[caption caption="Aksi teror secara terbuka juga pernah dilakukan saat pembajakan pesawat garuda DC-09 pada 1981 (Indocropcircles.wordpress.com)"]

[/caption]Apakah pelaku teror di sekitar Jl Thamrin meniru pola yang dilakukan pada kasus pembajakan pesawat pada 1981? Tentu sangat jauh untuk membandingkannya. Selain pelaku pada aksi teror di Jl Thamrin tidak melakukan pembajakan, mereka juga terkesan berlaku seperti orang yang tidak profesional alias amatir. Lihat saja yang paling mudah dilihat, pelaku terkesan seperti orang kebingungan, padahal ada begitu banyak kesempatan bagi mereka untuk melarikan diri.

Namun mereka memilih untuk menyerang polisi dan warga sipil lainnya. Yang pada akhirnya jelas bisa ditebak, mereka akan dilibas oleh satuan elite Densus 88 Antiteror Polri. Mereka pun seolah memang telah bersiap untuk mati di tempat. Entah karena doktrin yang telah ditanamkan atau maksud lain

Sekilas, aksi yang mereka lakukan mirip dengan aksi teror yang terjadi di Paris, Prancis, pada 14 November 2015 lalu. Di mana terjadi tujuh serangan mematikan, berupa penembakan dan ledakan bom bunuh diri di enam lokasi di Paris; Stadium State de France, Gedung Konser Bataclan, Rue Bichat, Av. de la Republique, Bd. Voltaire, Rue Charonne, dan Bld Beaumarchais.

[caption caption="Aksi teror Jakarta diduga terinspirasi teror Paris. (Reuters) "]

[/caption]Dalam serangan yang diduga terkait dengan jaringan kelompok ekstrem ISIS tersebut, tujuh dari delapan pelaku penyerangan tewas karena bom bunuh diri. Sementara seorang pelaku tewas akibat ditembak petugas kepolisian.

Yang membedakan, tentu saja tingkat profesional pelaku teror Jakarta dan Paris. Di antaranya, walaupun pelaku teror Jakarta melakukan serangannya secara mendadak, namun tidak menimbulkan dampak korban yang banyak. Berbeda dengan aksi teror Paris yang mengakibatkan 153 orang tewas.

Dari cara pelaku memegang senjata api pun dapat terlihat bahwa dia memang bukan profesional. Setidaknya, dia tidak memahami benar teknis pengoperasian senjata yang digunakannya. Seperti diungkapkan seorang netizen Denny Ajd, cara Afif mengokang senjata dengan tangan kanan, seolah slide-nya sulit ditarik.

Lalu apa target dari aksi yang dilakukan dari teror Jakarta? Tidak mudah menjawabnya. Yang jelas, Polri memastikan bahwa Bahrun Naim, seorang pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, merupakan otak di balik aksi teror Jakarta. Dia disebut Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Tito Karnavian ingin mendirikan Khatiban Nusantara dan menjadi pemimpin kelompok ekstrem ISIS di Asia Tenggara.

Naim sempat ditangkap pada 2010 dan 2014 karena kasus senjata api dan kepemilikan peluru. Namun karena kurangnya bukti, dia dilepaskan dan terlepas atas jeratan kasus terorisme. Bahrun hanya diganjar hukuman sekitar 2,5 tahun penjara oleh hakim. Namun kemudian dikabarkan melarikan diri ke Raqqa, Suriah untuk bergabung bersama ISIS.

Dalam salah satu tulisan bertajuk ‘Pelajaran dari Serangan Paris’ di blog yang diduga miliknya—yang kini sudah tidak dapat diakses lagi—Bahrun menyerukan untuk meniru serangan di Paris. Dia memuji serangan itu sebagai ‘menakjubkan’, yang dilakukan pemuda terbaik berusia 15 hingga 18 dalam waktu singkat dengan jumlah korban besar dan disebutnya inspiratif.

“Pertama, dari sisi korban jiwa yang cukup besar. Kedua, dari sisi perencanaan yang matang baik dari sisi target, timing, hingga akhir misi (end of action) yang berani,” tulisnya. Dia juga menyebutnya sebagai “perhitungan efek yang menjadi bola salju” dengan banyaknya pemerintah yang merespons serangan itu sebagai ancaman di wilayahnya.

Memang terlalu dini jika menilik peristiwa teror Jakarta dan kemiripannya dengan teror Paris, lalu disimpulkan bahwa aksi mereka dilakukan tanpa perhitungan yang matang. Yang terlihat, teror Jakarta terkesan begitu terinspirasi dari serangan di Paris. Sehingga, tidak menutup kemungkinan bahwa yang dilakukan di Jakarta pada 14 Januari lalu hanya sebuah uji coba, dengan target operator lapangan memang diplot untuk mati.

Kelompok itu terkesan hanya ingin menunjukkan bahwa mereka ada dan mampu. Pelaku seolah ingin menunjukkan eksistensinya di Indonesia dan ingin memperlihatkan kepada dunia, bahwa mereka mampu melakukan aksinya di jantung negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Artinya, bisa jadi akan ada aksi lanjutan dari teror yang dilakukan kelompok tersebut dengan perencanaan yang lebih matang. Dan yang lebih mengerikan, seolah mereka kini telah memulai tren untuk melakukan aksi teror secara langsung dengan menembak warga atau aparat di tempat terbuka. Tak heran jika mereka pun kini begitu terlihat narsistis dengan menunjukkan wajahnya kepada umum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun