Mohon tunggu...
Nusantara Mulkan
Nusantara Mulkan Mohon Tunggu... Lainnya - Orang Biasa Aja

Sebagian tulisan saya yang ada di sini pernah dimuat di sejumlah media. Walaupun sedikit saya modifikasi kembali.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pergulatan Kaum (Tak) Bertuhan [Bagian 4-Habis]

8 Januari 2014   17:59 Diperbarui: 7 Juli 2015   15:29 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain mengklaim tingkat intelektualitasnya  lebih tinggi dibandingkan kaum religius, kaum ateis juga mengaku lebih memahami nilai-nilai agama dibandingkan kaum beragama. Sehingga argumen akademis di antara kedua kelompok itu selalu saja saling menimpali.

[caption id="" align="aligncenter" width="385" caption="(vgalt.com)"][/caption]

SEBELUM menjadi ateis, mereka yang tidak percaya dengan Tuhan atau pun agama umumnya memang telah lama bergulat dengan berbagai pemikiran keagamaan. Hal ini membuat banyak kaum ateis yang merasa lebih menguasai ajaran keagamaan dibandingkan mereka yang mengaku bertuhan.

Bahkan, kaum ateis justru mendidik anak untuk menjadi ateis justru lewat teks-teks keagamaan. Setidaknya, Dave Silverman, Presiden American Atheists, sebuah lembaga advokasi bagi kaum ateis, melakukan hal itu kepada anaknya. “Saya telah banyak mendengar bahwa kaum ateis tahu lebih banyak tentang agama dibandingkan orang-orang beragama. Ateisme adalah efek dari pengetahuan, bukan karena kurangnya pengetahuan. Saya justru memberikan Alkitab untuk anak saya. Dan itulah cara membuat anak Anda menjadi ateis,” paparnya seperti dikutip Huffington Post.

Ungkapan ini terlontar setelah sebuah survei menunjukkan bahwa rakyat AS tak mengenal ajaran agama mereka sendiri. Sebaliknya warga yang mengaku ateis dan agnostik justru lebih memahami soal-soal keagamaan yang ditanyakan dalam kuestioner.

Dalam penelitian Pew Forum on Religion and Public Life tahun lalu, rata-rata responden menjawab pertanyaan dengan salah tentang agama mereka sendiri. Padahal, pertanyaan yang diajukan kepada 3.400 warga itu lebih ke pengetahuan dasar agama. Seperti: Di mana Yesus lahir? Siapa Bunda Theresa? Siapa tokoh reformasi Protestan? Siapa tokoh Alkitab yang memimpin eksodus dari Mesir? Apa itu Ramadan? Apa agama Dalai Lama? Semua pertanyaan pun dalam format pilihan ganda.

Hasilnya: sebanyak 53% warga Protestan tidak tahu bahwa Martin Luther adalah tokoh reformasi Protestan, 45% warga Katolik tidak tahu bahwa bahwa roti dan anggur dalam perjamuan kudus tak sekadar simbol, tapi benar-benar menjadi tubuh dan darah Kristus. Sementara dari warga Yahudi, sebanyak 43% tidak tahu bahwa Maimonides adalah seorang filsuf Yahudi.

Pada pertanyaan tentang Alkitab dan Kristiani, kelompok yang menjawab paling benar justru yang menjadi minoritas, yakni warga penganut Mormon. Sementara pada pertanyaan tentang agama-agama dunia, seperti Islam, Buddha, Hindu, dan Yahudi, kelompok yang mendapat nilai terbaik adalah yang mengaku ateis, agnostik, dan Yahudi.

Klaim Akademis

Para pendukung ateisme umumnya berpendapat bahwa ketika seorang manusia dilahirkan, dia adalah bagian dari kelompok ateis. Sebab walaupun memiliki kapasitas konseptual untuk mengerti isu-isu mengenai ketuhanan, namun masih tidak sadar akan isu-isu tersebut. Namun, pendapat ini dibantah Justin Barrett dari Center for Anthropology and Mind, Oxford University. Melalui penelitiannya pada 2008, dia berusaha membuktikan bahwa mengimani Tuhan merupakan tabiat bawaan manusia sejak lahir.

Hasil penelitian yang termuat dalam artikel di Telegraph berjudul ‘Children are Born Believers in God, Academic Claims' (Anak-anak Terlahir Beriman pada Tuhan, Sebuah Klaim Akademis), yang kemudian seluruh hasil penelitian diterbitkan dalam buku berjudul 'Born Believers'.

[caption id="" align="alignright" width="208" caption="Buku yang mengklaim manusia telah beriman sejak lahir. (freethoughtblogs.com)"]

[/caption]

Dalam penelitian itu, Barrett menemukan bahwa anak-anak telah mengimani Tuhan sebelum diperkenalkan oleh orangtua maupun gurunya di sekolah. “Bahkan, seorang anak yang tumbuh seorang diri di sebuah pulau tanpa penghuni sekali pun akan beriman kepada Tuhan,” ungkapnya. Hasil penelitiannya, kata dia, menunjukkan bahwa anak-anak menganggap sesuatu diciptakan dengan sebuah tujuan, sehingga membuat mereka cenderung meyakini adanya Zat Maha Tinggi.

Dia mendasakan pada sebuah percobaan kepada anak-anak berusia setahun yang diputarkan film yang menampilkan sebuah bola yang menggelinding. Bola itu tiba-tiba saja membentuk sebuah tatanan yang teratur setelah sebelumnya menumpuk secara acak. Penelitiannya langsung dilawan Anthony Grayling, guru besar Filsafat Birkbeck College, University of London, Inggris. Sayangnya, dia tidak melawan dengan bukti ilmiah, melainkan justru mempersoalkan Templeton Foundation selaku organisasi yang mendanai penelitian Barrett. (Tamat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun