Jokowi akhirnya ditahbiskan PDI Perjuangan yang menjadi pengusungnya sebagai calon presiden di Pemilu 2014. Dia mungkin saja akan bersaing ketat dengan Prabowo. Lalu, bagaimana persaingan di antara mereka?
Â
[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Yang diperkirakan akan bertarung di Pilpres 2014 (http://rohilonline.com)"][/caption]
MUNGKIN hampir seluruh mata para politisi--atau minimal yang tertarik dengan masalah politik--di negeri ini, pada Jumat (14/3), sekitar pukul 14.30 WIB, akan akan tertuju ke layar televisi. Karena saat itu, DPP PDI perjuangan secara resmi mengumumkan Joko Widodo, yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta, sebagai calon presiden mereka di Pilpres 2014. Bagaimana tidak, karena walaupun di berbagai survei dia selalu memeroleh elektabilitas di urutan puncak, namun PDIPÂ selaku partai pengusungnya, sebelumnya tidak penah secara tegas mengumumkan status Jokowi di Pilpres 2014.
Dan tidak seperti biasanya, jika sebelumnya ditanya wartawan mengenai masalah itu, selalu menghindar dengan menjawab,"Saya ngurus Jakarta aja pusing." Namun, kini Jokowi punya jawaban baru,"Ya saya telah mendapatkan mandat dari Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Megawati Soekarnoputri untuk menjadi calon presiden. Dengan mengucapkan Bismillah, saya siap melaksanakan," kata Jokowi sambil mencium bendera merah putih.
[caption id="" align="alignright" width="318" caption="Jokowi sesaat setelah ditetapkan PDIP sebagai capres. (Sumber: viva.co.id)"]
Nah, pertanyaan selanjutnya adalah: siapa cawapres yang akan diusung mendampingi Jokowi? Tentu tidak mudah menebak-nebak apalagi menelisik tokoh tersebut. Namun, dilihat dari sisi pertarungan, hal itu mungkin saja bukan hal yang signifikan. Karena dengan siapapun Jokowi dipasangkan, tidak akan berpengaruh terhadap dukungan pemilih terhadap dia.
Lagi-lagi, survei mengungkapkan hal itu. Di mana Indo Barometer menyigi bahwa pasangan Jokowi-Jusuf Kalla menduduki posisi tertinggi (37,9%), Jokowi-Hatta Rajasa (37,1%), dan Jokowi-Puan Maharani (35%). Jadi, dapat disimpulkan bahwa Jokowi nyaris tidak memiliki lawan tanding. Yang terdekat cuma Prabowo Subianto, capres yang diusung Partai Gerindra. Itu pun dengan persentase elektabilitas yang cukup jauh.
Survei Cirus Surveyors Grup, yang dirilis 8 Maret lalu misalnya, menemukan nama Jokowi mendominasi dengan elektabilitas 41,4%. Sedangkan Prabowo hanya 17,1%. Semua memang masih menunggu peroleh suara di pemilu legislatif (pileg), di mana pendeklarasian Jokowi sebelum Pemilu 2014, diharapkan mampu mendongkrak perolehan suara partai moncong putih itu di Pileg 2014 hingga 27,02% alias 152 kursi di DPR.
Memang belum dapat menjamin apakah pencapresan itu menjadi resep yang ampuh bagi PDIP di Pileg 2014, karena di sejumlah pemilukada yang digelar sejumlah provinsi atau kabupaten/kota pun, nama Jokowi bukan menjadi jaminan kemenangan jagoan yang diusung PDIP.
Lalu apa sikap Prabowo atas saingan terberatnya itu? Kegalauan mungkin saja terjadi, walaupun seharusnya Gerindra telah memperhitungkan hal tersebut, mengingat berbagai survei sejak lama telah mempredikisikannya. Salah satu syarat terberat bagi partai yang didirikan mantan Danjen Kopassus itu, tentu harus mendapatkan suara 20% sebagai syarat presidential threshold. Jika berada di bawah itu, tentu mereka harus berkoalisi dengan parpol lain. Jika gagal menghimpun dukungan, maka Prabowo tidak akan dapat maju sebagai capres.
Tidak heran jika kemudian Prabowo bertemu Ketua Umum DPP PAN Hatta Rajasa, bahkan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Termasuk rajin berkomunikasi dengan sejumlah pimpinan PDIP.
[caption id="" align="alignleft" width="372" caption="Akankah Prabowo kompromi? (sumber: Tempo.co)"]
Bagaimana jika Prabowo gagal mendapat tiket untuk maju di Pilpres 2014? Ini menjadi pertanyaan yang menarik, mengingat dia merupakan saingan terberat Jokowi--setidaknya lewat berbagai survei. Nah, sampai di sini mungkin saja Prabowo akan coba berkompromi. Berkoalisi dengan partai lain mungkin bisa saja dilakukan. Namun, partai lain pun belum tentu bersedia menyalurkan dukungannya terhadap dia.
Pragmatisme mungkin saja timbul lewat berbagai alasan: mulai kasus HAM yang membelitnya, hingga penolakan Amerika Serikat terhadap sosoknya. Sehingga, bisa jadi mereka akan lebih memilih bergabung mendukung Jokowi ketimbang mendukung Prabowo. Jalan terakhir yang akan ditempuh, bisa saja Prabowo mencoba berkompromi. Secara platform parpol, Gerindra mungkin lebih dekat ke PDIP. Walaupun tidak menutup kemungkinan Prabowo menghimpun kekuatan dari parpol-parpol berbasis Islam. Jadi, bukan hal yang mustahil juga jika ke depan Prabowo bersedia menurunkan 'gengsi' dengan menjadi cawapres bagi Jokowi.
Ketidakpastian ini, mungkin agak mirip dengan situasi sebelum Pemilu 2004. Di mana pada 2003, nama Megawati Soekarnoputri berkibar sendirian, mengingat dia petahana yang memiliki banyak keuntungan. Hingga akhirnya muncul nama Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjadi Menko Polkam. Yang membedakan, saat itu aturan pencalonan hanya membutuhkan 3% suara. Sehingga SBY dengan mudah meraih tiket melalui Partai Demokrat yang baru dibentuknya.
Namun, bukan itu satu-satunya yang membuat nama SBY moncer saat itu. Sikap SBY yang menampilkan diri sebagai 'orang tertindas' oleh Megawati menguatkan posisinya. Ditambah karena kebijakan Megawati yang menjelang Pemilu 2014 sangat tidak populer, di mana dia menjual aset-aset BPPN dan BUMN ke pihak asing, terutama Indosat. Apakah dengan begitu Prabowo akan coba menampilkan gaya sebagai orang yang terzalimi? Semua tentu tergantung hasil Pileg 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H