Rangkap Tugas; bisa mengasikan tetapi bisa juga mematikan
Topik pilihan kompasiana tentang rangkap tugas menarik banget buat saya. Karena seakan bicara tentang saya. Pernah rangkap tugas? Sering bahkan. Juga pernah berada pada posisi sebagai pemberi rangkap tugas kepada karyawan. Maka diskursus tentang ini bukan hal asing buat saya.
Saya mulai saja dengan pengalaman sebagai orang yang pernah dilimpahi rangkap tugas oleh pimpinan. Oh iya, sebagai Pastor tentu pimpinan yang saya maksud di sini adalah Uskup.Â
Sejak 2016 saya ditugaskan oleh pimpinan saya sebagai Dosen di sebuah Sekolah Tinggi milik keuskupan. Sejak saat itulah saya menjalani rangkap tugas: sebagai pastor yang melayani umat dalam hal kerohanian, ini tentu tugas utama saya dan sebagai dosen yang mendampingi para mahasiswa di kampus. Selanjutnya tahun 2017 sampai sekarang saya juga dipercayai oleh pimpinan saya sebagai wakil ketua Sekolah Tinggi tersebut.
Bagaimana saya menjalani hal di atas? Awalnya bingung juga sih, rada-rada ingin menolak. Tetapi sebagai pastor tidak ada kosa kata 'menolak' penugasan dari pimpinan. Ketaatan harga mati.Â
Walaupun sebelum mengatakan iya kepada pimpinan sempat juga saya mengutarakan kepada pimpinan saya tentang plus minus menjalani penugasan rangkap ini. ini biasanya strategi umum dari kebanyakan orang yang seprofesi dengan saya. Mau menolak secara lugas tetapi enggan hehe. Tetapi ya sudahlah akhirnya legowo.
Waktu berjalan cepat, dan saya menjalani itu sampai saat ini, memasuki tahun kelima. Sedikit berbagai pengalaman, tantangan utama bagi saya yang menjalani tugas rangkap adalah bagaimana saya membagi waktu untuk tugas A dan tugas B. Ini soal prioritas.Â
Tetapi akhirnya saya bisa melewatinya dengan baik. Mengapa bisa? Minimal ada tiga hal yang membuat saya bisa menjalaninya. Maaf yang berikut ini bukan menggurui pembaca tetapi sekedar berbagi pengalaman ya. Saya menjalani rangkap tugas dengan beberapa prinsip berikut:
a. Menempatkan tugas A dan B dalam porsi yang seimbang. Keduanya bagi saya penting dan sama-sama merupakan tugas utama. Tinggal sekarang saya memposisikan diri. Ketika saya di kampus, maka tugas sebagai dosen dan pimpinan adalah tugas utama. Selanjutnya ktika saya pulang ke rumah, ke pastoran maka tugas utama saya adalah pastor, yang siap melayani umat dalam pelayanan kerohanian.
b. Menjalani tugas tidak semata-mata beban tanggungjawab tetapi sebagai kesempatan untuk berkontribusi bagi orang lain. juga kesempatan untuk mengembangkan diri. Ini tampak ideal banget.Â
Tetapi hemat saya, tugas dan pekerjaan apapun selalu memiliki nilai sosial, dan bahkan dari sisi religiositas ada unsur pahalanya. Kalau prinsip ini tertanam dalam hati maka akan bisa membuat kita menjalani suatu pekerjaan dengan gembira.Â
Tentang ini saya jadi ingat ibu di rumah, bagi saya ibu adalah ikon pekerja dengan beragam tugas tambahan. Saking banyaknya tugas tambahan sehingga sulit membedakan mana utama dan mana yang tambahan. Tetapi apa yang terjadi? Beliau gembira saja menjalaninya. Apakah karena diberi upah oleh anak-anak dan suami? Mana pernah ada?
c. Positiv thinking dengan Pimpinan
Ini masih terkait dengan sudut pandang. Meyakini bahwa pemberian tigas tambahan dari pimpinan adalah manisfestasi dari kepercayaan beliau atas kapasitas sumber daya manusia yang kita miliki. Beliau yakin bahwa saya bisa menjalaninya. Mungkin ini yang membuat saya bahagia mengerjakannya.Â
Mungkin situasinya berbeda jika saya menilai dan menterjemahkan pemberian tuga tambahan semata-mata sebagai beban, sebagai bentuk orogansi pimpinan. Maka bisa saja saya tidak bahagia menjalaninya.
Kalau hal-hal diatas adalah rangkaian pengalaman sebagai orang yang menjalani tugas tambahan, maka berikut ini saya berbagai sedikit mengenai peran saya sebagai pihak yang melimpahkan tugas tambahan kepada karyawan.
saya awali dengan hal yang normatif. Secara umum, dalam situasi normal pelimpahan tugas tambahan kepada karyawan didasari oleh tiga hal, yakni:
1. Lembaga atau perusahanan kekurangan sumber daya
Sumber daya dalam hal ini terkait dengan: jumlah karyawan, dan juga kemampuan kemampuan finansial yang terbatas. Karena menambah tenaga kerja atau karyawan akan berdampak pada penambahan pengeluaran keuangan lembaga. Ini dampak turunan yang tak bisa terhindarkan.Â
Maka jalan amannya adalah mengoptimalkan sumber daya manusia yang tersedia. Maka jadilah rangkap tugas sebagai alternatifnya. Dari sisi pembiayaan lebih efisien.
2. Kinerja dari karyawan yang menurut penilaian atasan relevan dengan tugas tambahan yang akan diberikan.
Tidak dipungkiri ada saja karyawan yang multi talent. Bisa dalam banyak hal. Maka rasanya sayang jika lembaga tidak mengoptimalkan sumber daya yang ada.
3. Jenis dan volume pekerjaan yang sifatnya aksidental. Yang tidak sangat mengganggu pekerjaan utama dari karyawan
Sebagai wakil ketua saya juga beberapa kali melimpahkan tugas tambahan kepada para staf kampus. Karena secara organisatoris posisi karyawan berada dibawah tanggungjawab dan kewenangan saya.
Hemat saya, rangkap tugas selalu memiliki sisi plus minus. Bahkan jika tidak ditimbang dengan matang bisa berdampak buruk bagi organisasi. Karena itu, hendaknya pimpinan menimbang dengan bijaksana dan memperhitungkan dengan matang sebelum melimpahkan tugas tambahan kepada karyawannya. Misalnya begini:
- Mengapa tugas tambahan ini dilimpahkan kepada si A? Apakah karena lembaga atau perusahan kekuarangan sumber daya? Misalnya karena kesulitan pembiayaan untuk merekrut pegawai baru, ataukah karena melihat kapasitas SDM dari karyawan yang memadai untuk menjalankan tugas tambahan tersebut.
- Apakah tugas tambahan ini tidak mengganggu karyawan dalam menjalankan tugas utamanya? Pimpinan harus memastikan bahwa tugas tambahan ini tidak akhirnya mengakibatkan karyawan mengabaikan tugas utamanya. Karena itu sebaiknya pekerjaan yang diberikan itu sifatnya aksidental, yang durasi pengerjaannya itu tidak membutuhkan waktu yang lama. Sehingga karyawan tidak akhirnya mengabaikan tugas utamanya. Energinya tidak terkuras habis oleh pekerjaan tambahan, sementara dia punya tugas utama. Maka Kurang tepat jika jenis dan volume tugas tambahan yang diberikan itu malah lebih besar dari tugas utama si karyawan.
- Apakah tugas tambahan ini sesuai dengan kapasitas keahlian karyawan? Karena ini terkait dengan hasil atau mutu pekerjaan. Hindari sekedar memberi tugas tambahan tanpa mempertimbangkan kemampuan karyawan untuk mengerjakannya. Ini akan berdampak pada hasil kerja dan juga beban psikologis karyawan.
- Apakah tugas tambahan ini bakalan diterima dengan lapang oleh karyawan? Pimpinan atas kewenangan yang dimiliki bisa saja melimpahkan tugas apapun kepada karyawannya. Tetapi tidak berarti ia sewenang-wenang melimpahkan tugas itu tanpa mempertimbangkan sisi psikologis karyawan. Pendekatan yang arif sangat dibutuhkan, sehingga kayawan tidak merasa sebagai kuda beban. Ia tidak merasa sebagai pesuruh yang disuruh-suruh tetapi sebagai rekan yang dihargai martabat dan harga dirinya. Karena jika tidak maka akan mempengaruhi kinerja karyawan, bahkan bisa mempengaruhi kinerjanya di tugas utama. Karena ia merasa terbebani.
Demikian beberapa pengalaman sederhana yang bisa saya bagikan kepada rekan pembaca kompasiana. Intinya adalah, tugas tambahan bukan hal buruk dalam organisasi, bukan pula sebagai bentuk hukuman kepada karyawan, tetapi bisa jadi berkah terselubung bagi karyawan.Â
Asalkan ini dipertimbangkan dengan matang oleh pimpinan dan dijalani dengan hati lapang oleh karyawan. Simpulnya: rangkap tugas bisa jadi hal mengasikan bisa juga mematikan. Semuanya tergantung dari bagaimana hal ini diimplementasikan dan dijalani oleh pimpinan dan karyawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H