Mohon tunggu...
Paulinus Kanisius Ndoa
Paulinus Kanisius Ndoa Mohon Tunggu... Dosen - Sahabat Sejati

Bukan Ahli, hanya ingin berbagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menatap dan Menata Wajah Pendidikan di Indonesia

8 Agustus 2021   13:17 Diperbarui: 8 Agustus 2021   13:45 911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pentingnya Pendidikan

Pendidikan itu penting. Bahkan sangat penting. Ungkapan-ungkapan demikian sering saya dengar mulai dari rumah bahkan. Maka saya akhirnya mengerti mengapa ayah saya rela mengorbankan waktunya hampir beberapa bulan hanya untuk antar sekaligus menemani saya beberapa jam di sekolah di kala saya masuk SD. Karena jika tidak ditemani pasti saya akan kabur kembali ke rumah.

Waktu itu, kesadaran akan pentingnya pendidikan sama sekali tidak terbersit dalam benak seorang anak SD. Syukur sebagai orang tua, ayah saya menyadari pentingnya hal itu. Jika tidak, bisa saja kisahnya berbeda.

Di sekolah juga ungkapan 'pendidikan itu penting' juga masih terdengar di kala guru menasihati kami. Ini tentu ungkapan untuk memompa motivasi belajar. 

Untuk lebih meyakinkan kami, kadang guru mengatakan, kalau kamu rajin belajar kamu tidak akan dibodohin oleh orang lain, kelak kamu akan jalan-jalan ke kota, SMA di kota, jadi anak kuliahan dan kelak kamu akan jadi PNS seperti kami. 

Wah, ini kayak iklan yang penuh janji-janji surga. Relevan dengan kebutuhan psikologis anak-anak desa kayak saya waktu itu. Tapi memang demikian. Kami berhasil diyakinkan.

Waktu berjalan begitu cepat. Saya yang dulu dinasihati, kini mengambil peran sebaliknya. Kepada peserta didik yang saya dampingi kadang saya menggaungkan kembali nasihat bijak guru-guru saya dulu. 

Hanya saja saya menambah satu dua hal, meyakinkan mereka bahwa pendidikan memungkinkan mereka untuk menjadi manusia produktif, sesekali mengulang kembali keyakinan driyarkarya, bahwa pendidikan adalah instrumen yang membantu manusia untuk semakin manusia. Berpikir, bertindak dan bertutur sebagaimana layaknya manusia.

Pendidikan adalah hak tetapi kadang mengaksesnya sulit?

Pendidikan memang penting. Tetapi sayang, masih ada juga penduduk negeri ini yang tidak bisa mencicipinya? Mereka kesulitan mengakses pendidikan. 

Sejumlah faktor menjadi penyebabnya, dua diantaranya belum tersedianya lembaga pendidikan di wilayahnya, mungkin ada tetapi jauh dari rumahnya. Harus menempuh berjam-jam perjalanan. Bisa juga soal kemampuan finansial keluarga untuk membiayai pendidikan anaknya. Yang terakhir ini hampir pasti menimpa keluarga miskin.

Miris memang. Kedua kendala ini masih ditemukan oleh masyarakat yang berada di wilayah dengan labelisasi 3 T: terdepan, terluar dan tertinggal. Dan jika ini terus berkepanjangn terjadi, maka hampir pasti label 3 T ini akan menjadi predikat abadi untuk mereka.

Lalu harus bagaimana? Siapa yang bertanggungjawab atas ini? pertanyaan pertama bicara tentang strategi sedangkan yang kedua bicara soal pihak mana.

Kita mulai saja dengan pertanyaan kedua. Siapa yang bertanggungjawab? tentu kita tidak sulit menjawabnya jika merujuk kepada undang-undang. 

Dengan terang benderang konstitusi mengamanatkan bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan kewajiban pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang diatur oleh undang-undang (Danny Meirawan, 2010:17-18).

Dari amanat UUD 1945 pasal 31 ini tersirat maksud bahwa pendidikan secara konstituisonal adalah hak warga Negara Indonesia. Karena itu, pemerintah sebagai penyelenggara Negara berkewajiban memberikan akses yang memungkinkan warga Negara mendapatkan pendidikan.

Pendidikan di Indonesia masih mengalami sejumlah problem

Dengan demikian kita sampai kepada pertanyaan pertama. Bagaimana caranya? Hemat saya ini pertanyaan paling penting, karena akan menyoroti strategi, upaya kongkrit dan jalan keluar yang ditempuh agar pendidikan yang adalah hak ini dapat diakses oleh semua warga negara.

Untuk menentukan strategi, pemerintah pasti terlebih dahulu berusaha menemukan apa saja kendala yang menjadi penghambat akses masyarakat kepada pendidikan. 

Sebaran sekolah-sekolah yang tidak merata, tidak menjangkau sampai ke pelosok dan yang kedua adalah kemampuan orang tua dalam menyokong pembiayaan pendidikan anaknya. Hemat saya dua hal ini adalah kendala utama.

Sejauh saya amati, minimal di tempat dimana saya berkarya, disana sini pemerintah mulai membenahi kesulitan masyarakat akan akses kepada pendidikan. 

15 tahun lalu sekolah-sekolah Menengah Atas misalnya hanya tersedia di pusat kota kabupaten, dan beberapa di kecamatan. Tetapi sekarang gedung-gedung sekolah tingkat menengah atas, entah SMA, atau SMK sudah berdiri di banyak kecamatan.

Selain membangun infrastrukut pendidikan dalam bentuk gedung sekolah, pemerintah juga mengalokasikan anggaran sebanyak 20% dari alokasi APBN. Peruntukannya beragam. Mulai dari gaji guru/dosen, bantuan pendidikan kepada peserta didik miskin dengan beragam nomenklatur dan sebagainya. 

Dimulai sejak tahun 2009. Ini semua indikator bahwa pemerintah secara perlahan menjalankan amanat konsitusi dalam konteks menyediakan akses pendidikan. Patut disyukuri.

Tetapi, ini tampak belum cukup. Ibarat sakit, belum sembuh secara total. Masih saja kita dengar bahwa banyak anak usia sekolah yang terpaksa tidak melanjutkan pendidkan lantaran kesulitan biaya. Kok bisa? Kan sekolah gratis. Katanya sih gratis.

Tapi hemat saya tidak ada sekolah yang gratis. Bisa saja gratis, tapi uang sekolahnya, tapi biaya pendidikan tidak berhenti sekedar uang sekolah. 

Disana ada seragam sekolah, ada uang jajan biar anak semangat belajar dan tidak minder melihat temannya menikmati jajanan di kantin. Ada biaya transportasi, beli alat tulis dan beragam biaya lainnya. 

Semuanya tidak datang dari langit ketujuh tetapi dari kantong orang tua. Sesekali dari donatur yang berbudi luhur. Nah, jika orang tua tidak memiliki cukup uang untuk hal-hal ini maka hampir pasti hak anak atas pendidikan terkorbankan.

Selain kendala dalam hal pembiayaan, pendidikan di Indoensia masih belum sehat-sehat amat. Masih ada virus ganas yang terus menyerangnya yakni mutu dan sebaran guru. Ini penyakit lama yang belum sepenuhnya pulih. Penyelenggaraan pendidikan yang bermutu tentunya mengandaikan tersedianya guru yang berkompeten dan sarana prasarana yang memadai.

Jangan sampai gedung sekolahnya megah, tetapi diselenggarakan oleh kepala sekolah yang kurang berkompeten, guru yang seadanya: mengajar seadanya, datang sekolah seadanya, strategi dan metode mengajarnya itu-itu saja. 

Syukur jika dibalik hal-hal yang seadanya itu ternyata ia memiliki kepribadian dan moralitas yang baik. Tetapi lagi-lagi ini tidak cukup. Karena sekolah yang bermutu mengandaikan di dalamnya terjadi proses transfer ilmu dan nilai/moral yang bermutu.

Sebaran guru yang tidak merata juga sering menjadi sorotan. Saya lupa persis waktunya, tetapi pernah diberitakan oleh salah satu stasiun televisi tentang sebuah SD yang hanya diajarin oleh 2 atau 3 orang guru saja. 

Bisa dibayangkan hasilnya gimana. Apresiasi tentu patut kita berikan kepada mereka yang pastinya sangat letih, bekerja ekstra ditengah balas budi yang seadanya.

Pertanyaannya apakah benar Indonesia kekurangan tenaga pendidik? 

Tampaknya tidak, setiap tahun pendidikan tinggi menamatkan ribuan guru. Lalu dimana mereka? susah juga menjajakinya, tetapi beberapa referensi yang saya baca ternyata banyak guru 'bertumpuk' di kota. Entah mengapa, bisa saja enggan masuk desa. Pengasilan lebih menjanjikan di kota.

Selain itu banyak pula dari mereka yang menikmati status sebagai 'pengangguran'. Banyak juga yang memilih bekerja di bidang lain. Mungkin dari pada nganggur lebih baik bekerja walau tidak sesuai dengan profesi dan latarbelakang keilmuan. Jika hal-hal ini terus berlanjut, maka impian dan cita-cita menjadikan indonesia sebagai negara yang memiliki kualitas pendidikan yang baik masih jauh dari harapan.

Akhirnya, Jika kita ingin mengubah wajah Indonesia sebagai sebuah negara yang bermartabat, yang disegani karena beragam keunggulan dan prestasi maka langkah paling pertama adalah 'memoles kembali wajah pendidikan kita. Biarlah dia berubah menjadi wajah yang berseri-seri karena di dalamnya para pendidik dan peserta didik mengalami proses transformasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun