Mohon tunggu...
Paulinus Kanisius Ndoa
Paulinus Kanisius Ndoa Mohon Tunggu... Dosen - Sahabat Sejati

Bukan Ahli, hanya ingin berbagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menatap dan Menata Wajah Pendidikan di Indonesia

8 Agustus 2021   13:17 Diperbarui: 8 Agustus 2021   13:45 911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selain membangun infrastrukut pendidikan dalam bentuk gedung sekolah, pemerintah juga mengalokasikan anggaran sebanyak 20% dari alokasi APBN. Peruntukannya beragam. Mulai dari gaji guru/dosen, bantuan pendidikan kepada peserta didik miskin dengan beragam nomenklatur dan sebagainya. 

Dimulai sejak tahun 2009. Ini semua indikator bahwa pemerintah secara perlahan menjalankan amanat konsitusi dalam konteks menyediakan akses pendidikan. Patut disyukuri.

Tetapi, ini tampak belum cukup. Ibarat sakit, belum sembuh secara total. Masih saja kita dengar bahwa banyak anak usia sekolah yang terpaksa tidak melanjutkan pendidkan lantaran kesulitan biaya. Kok bisa? Kan sekolah gratis. Katanya sih gratis.

Tapi hemat saya tidak ada sekolah yang gratis. Bisa saja gratis, tapi uang sekolahnya, tapi biaya pendidikan tidak berhenti sekedar uang sekolah. 

Disana ada seragam sekolah, ada uang jajan biar anak semangat belajar dan tidak minder melihat temannya menikmati jajanan di kantin. Ada biaya transportasi, beli alat tulis dan beragam biaya lainnya. 

Semuanya tidak datang dari langit ketujuh tetapi dari kantong orang tua. Sesekali dari donatur yang berbudi luhur. Nah, jika orang tua tidak memiliki cukup uang untuk hal-hal ini maka hampir pasti hak anak atas pendidikan terkorbankan.

Selain kendala dalam hal pembiayaan, pendidikan di Indoensia masih belum sehat-sehat amat. Masih ada virus ganas yang terus menyerangnya yakni mutu dan sebaran guru. Ini penyakit lama yang belum sepenuhnya pulih. Penyelenggaraan pendidikan yang bermutu tentunya mengandaikan tersedianya guru yang berkompeten dan sarana prasarana yang memadai.

Jangan sampai gedung sekolahnya megah, tetapi diselenggarakan oleh kepala sekolah yang kurang berkompeten, guru yang seadanya: mengajar seadanya, datang sekolah seadanya, strategi dan metode mengajarnya itu-itu saja. 

Syukur jika dibalik hal-hal yang seadanya itu ternyata ia memiliki kepribadian dan moralitas yang baik. Tetapi lagi-lagi ini tidak cukup. Karena sekolah yang bermutu mengandaikan di dalamnya terjadi proses transfer ilmu dan nilai/moral yang bermutu.

Sebaran guru yang tidak merata juga sering menjadi sorotan. Saya lupa persis waktunya, tetapi pernah diberitakan oleh salah satu stasiun televisi tentang sebuah SD yang hanya diajarin oleh 2 atau 3 orang guru saja. 

Bisa dibayangkan hasilnya gimana. Apresiasi tentu patut kita berikan kepada mereka yang pastinya sangat letih, bekerja ekstra ditengah balas budi yang seadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun