Mohon tunggu...
Paulinus Kanisius Ndoa
Paulinus Kanisius Ndoa Mohon Tunggu... Dosen - Sahabat Sejati

Bukan Ahli, hanya ingin berbagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Mengapa Malu Konsumsi Pangan Lokal?

27 Juli 2021   22:44 Diperbarui: 27 Juli 2021   23:01 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foodie. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Mengapa malu konsumi pangan lokal? 

Suatu malam ketika santap malam saya dan beberapa rekan berbincang-bincang mengenai pangan lokal. Tentang pangan lokal memang bukan hal asing untuk kami di pastoran. Karena, setiap hari biasanya menu saraapan pagi kami di pastoran selain nasi juga disajikan singkong talas, kentang dan aneka umbi-umbian lainnya.

Pembicaraan kami berawal ketika kami mengajak seorang tamu yang kebetulan datang ketika kami sedang makan malam untuk ikut makan. Sambil menyendok nasi dia berseleroh kalau dia sebenarnya sudah makan ubi sebelumnya. tetapi rasanya belum lengkap karena belum makan nasi. 

Lalu seorang rekan berkisah hal yang sama bahwa di kampung halamannya orang merasa belum makan (walau sebenarnya sudah makan jagung atau ubi) jika belum makan nasi. Padahal sama-sama memiliki kandungan karbohidrat.

Entah mengapa  saya juga kadang demikian. Walaupun saya sendiri menyadari bahwa baik jagung, ubi dan nasi sama-sama memiliki kandungan karbohidrat tetapi tetap saja merasa kurang jika belum makan nasi. 

Saya menduga ini soal mindset yang tertanam sejak kecil ketika berada di tengah keluarga. Saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga petani. Setiap hari ibu selalu mengupayakan sebisa mungkin minimal 2 x sehari makan nasi. 

Untuk makan nasi tentu harus mengeluarkan biaya untuk membeli beras karena kami tidak memiliki lahan sawah. Padahal ubi, jagung, pisang berkelimpahan. Dan bukan hanya di keluarga kami, masyarakat di tempat saya pada umumnya demikian.

Ketika saya mencoba memikirkan  kembali pengalaman masa kecil itu serta mencoba menganalisisnya mengapa ibu saya dan juga masyarakat di tempat saya cenderung menganggap makanan yang sesungguhnya adalah nasi sedangkan ubi, jagung, pisang yang ada kebun sendiri dianggap makanan tambahan.  Untuk tidak dikatakan nomor dua. Saya menemukan beberapa kemungkinan, yakni:

1) Soal mindset yang tertanam. Entah kapan mulainya dan siapa yang memulainya saya kurang tahu. Tetapi saya ingat bahwa di sekolah guru selalu mengajari kami bahwa makanan pokok masyarakat indonesia adalah nasi.

Dalam harian kompas pernah diberitakan bahwa ternyata sebelum Indonesia merdeka, rakyat Indonesia sudah terbiasa makan singkong. Singkong jadi makanan pokok, baru kemudian beras. 

Setelah kemerdekaan orang yang masih makan singkong di pandang "rendah". Sebaliknya, semakin tinggi status sosial seseorang, semakin jauh pula ia dari singkong. Bahkan muncul istilah "anak singkong." Ini tentu image yang dipengaruhi oleh modernitas

Pengalaman yang sama saya alami ketika berada di pulau Nias. Beberapa kesempatan ketika mengunjugi umat dan bermalam di rumah mereka kadang kami makan tanpa sayur. Hanya nasi dan lauk. 

Kalaupun ada sayur besar kemungkinan adalah sayur kol dan sawi putih. Padahal kedua jenis sayur ini pada umumnya harus dibeli di pasar. Sementara di pekarangan rumah sebenarnya mereka memiliki pohon singkong yang daunnya bisa dijadikan sayur. 

Saya pernah bertanya kepada rekan saya yang berasal dari nias. Beliau mengatakan bahwa biasanya tuan rumah merasa enggan untuk menyajikan sayur daun singkong dan lebih merasa terhormat jika menyajikan kepada tamunya sayur kol dan sawi putih. Lagi-lagi ini soal mindset.

2) Soal ketrampilan yang terbatas untuk mengolah pangan lokal. Di tempat saya pada saat itu (ketika masa remaja) belum banyak yang kreatif dan memiliki ketrampilan untuk mengolah pangan lokal dalam aneka varian. Paling dibakar, direbus, atau digoreng. Jika ini saja yang disajikan terus menerus maka bisa saja bosan. Itu-itu saja.

Padahal jika masyarakat memiliki pengalaman dan ketrampilan yang memadai tentang pengolahan pangan lokal maka bisa saja pangan lokal tetap menjadi primadona dibanding dengan makanan cepat saji yang harganya jauh lebih mahal. 

Mereka mungkin bosan makan sagu atau singkong jika hanya disajikan dalam bentuk masakan yang itu-itu saja. Tetapi jika diolah dengan varian yang berbeda pasti tidak akan menimbulkan rasa bosan.

Selain itu jika mereka mampu mengolah dalam bentuk varian dan kemasan yang menarik tentu juga akan memiliki nilai jual yang tinggi. Artinya, secara ekonomi mereka mereka memperoleh tambahan pendapatan.

Tentang hal ini saya pernah kagum ketika mendengar pemberitaan di radio beberapa tahun lalu tentang bagaimana masyarakat kepulauan Sangihe mengelola pangan lokal. 

Ternyata penghasilan pangan lokal penduduk kepulauan itu,  belakangan ini telah masuk kancah internasional, mereka telah memproduksi sagu beberapa kali sampai ke negeri Jerman. kepulauan itu telah  mengolah 259 macam makanan.

Akhirnya, hemat saya mengkonsumsi pangan lokal sama sekali tidak ada kaitan sama sekali dengan status sosial serta akhirnya mempengaruhi derajat sosial seseorang. 

Saat ini entah mengapa masyarakat terbisa dan dimanjakan dengan makanan cepat saji. Makanan yang awalnya hanya sebagai kebutuhan dasar yang terkait dengan 'perut' kini dilabeli dengan label sosial. 

Makanan jenis ini A lebih bergensi ketimbang jenis B, dan sebagainya. Sayangnya lagi jika label ini menjadi dominan ketimbang pertimbangan higienisitas dan kebutuhan nutrisi untuk tubuh.

Kini saatnya masyarakat Indonesia kembali ke asalnya. Bangsa singkong. Apalagi di musim pandemi ini bagi masyakat di pedesaan yang memiliki cukup lahan daripada terus bergantung pada bantuan sosial dari pemerintah lebih baik bercocok tanam, menanam singkong, jagung, keledai, ubi jalar dan aneka pangan lokal lainnya. 

Sehingga ketersediaan pangan tetap terjamin di tengah masyarakat. Bukankah negara kita ini seperti yang digambarkan oleh Koes Plus dalam syair lagunya: orang bilang tanah kita tanah surga,tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Rasanya ironis: bangsa yang memiliki tanah yang subur tapi terus impor pangan. 

Maka kini saatnya pemerintah mengedukasi dan mengkampanyekan kecintaan kepada pangan lokal. Sambil terus membekali masyarakat melalui pelatihan-pelatihan dalam hal pengolahan pangan lokal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun