Pengalaman yang sama saya alami ketika berada di pulau Nias. Beberapa kesempatan ketika mengunjugi umat dan bermalam di rumah mereka kadang kami makan tanpa sayur. Hanya nasi dan lauk.Â
Kalaupun ada sayur besar kemungkinan adalah sayur kol dan sawi putih. Padahal kedua jenis sayur ini pada umumnya harus dibeli di pasar. Sementara di pekarangan rumah sebenarnya mereka memiliki pohon singkong yang daunnya bisa dijadikan sayur.Â
Saya pernah bertanya kepada rekan saya yang berasal dari nias. Beliau mengatakan bahwa biasanya tuan rumah merasa enggan untuk menyajikan sayur daun singkong dan lebih merasa terhormat jika menyajikan kepada tamunya sayur kol dan sawi putih. Lagi-lagi ini soal mindset.
2) Soal ketrampilan yang terbatas untuk mengolah pangan lokal. Di tempat saya pada saat itu (ketika masa remaja) belum banyak yang kreatif dan memiliki ketrampilan untuk mengolah pangan lokal dalam aneka varian. Paling dibakar, direbus, atau digoreng. Jika ini saja yang disajikan terus menerus maka bisa saja bosan. Itu-itu saja.
Padahal jika masyarakat memiliki pengalaman dan ketrampilan yang memadai tentang pengolahan pangan lokal maka bisa saja pangan lokal tetap menjadi primadona dibanding dengan makanan cepat saji yang harganya jauh lebih mahal.Â
Mereka mungkin bosan makan sagu atau singkong jika hanya disajikan dalam bentuk masakan yang itu-itu saja. Tetapi jika diolah dengan varian yang berbeda pasti tidak akan menimbulkan rasa bosan.
Selain itu jika mereka mampu mengolah dalam bentuk varian dan kemasan yang menarik tentu juga akan memiliki nilai jual yang tinggi. Artinya, secara ekonomi mereka mereka memperoleh tambahan pendapatan.
Tentang hal ini saya pernah kagum ketika mendengar pemberitaan di radio beberapa tahun lalu tentang bagaimana masyarakat kepulauan Sangihe mengelola pangan lokal.Â
Ternyata penghasilan pangan lokal penduduk kepulauan itu,  belakangan ini telah masuk kancah internasional, mereka telah memproduksi sagu beberapa kali sampai ke negeri Jerman. kepulauan itu telah  mengolah 259 macam makanan.
Akhirnya, hemat saya mengkonsumsi pangan lokal sama sekali tidak ada kaitan sama sekali dengan status sosial serta akhirnya mempengaruhi derajat sosial seseorang.Â
Saat ini entah mengapa masyarakat terbisa dan dimanjakan dengan makanan cepat saji. Makanan yang awalnya hanya sebagai kebutuhan dasar yang terkait dengan 'perut' kini dilabeli dengan label sosial.Â