Mohon tunggu...
Nury Ajalah
Nury Ajalah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reshufle?

17 Januari 2017   03:30 Diperbarui: 17 Januari 2017   04:32 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh

Pacar Biru

Perkembangan politik pilkada DKI berdampak kepada perubahan2 posisi kekuatan politik nasional. Posisi Jokowi dan PDIP yang mendukung Ahok ternyata tidak diikuti oleh parpol koalisinya di pemerintahan. Parpol2 Islam seperti PAN, PKB dan PPP ternyata merapat ke kubu Demokrat dgn mengusung Agus Yudhoyono melawan Ahok. Sementara Parpol yang selama ini berada diluar kekuasaan, Gerindra dan PKS mengusung juga Anies Baswedan sebagai calon pesaing Ahok.

Pertarungan politik Pilkada DKI ternyata memberi warna baru, ketika Ahok membuat blunder menyinggung Ummat Islam sehingga muncullah kasus Al Maida. Sebagaian Ummat Islam yang memang menolak Ahok menjadi Gubernur DKI, seperti mendapat amunisi untuk melawan Ahok dan mengkapitalisasinya secara maksimal, sehingga muncullah gerakan ummat Islam dalam gerakan 412 dan 212 yang sangat masif.

Geraan ummat Islam ini ternyata membawa perubahan kekuatan politik, ada gerakan baru yang tdk pernah diperhitungkan oleh elit2 politik yang selama ini hanya berhitung, bahwa kekuatan politik hanya ada di partai politik. Gerakan2 yang masif ini membuat posisi Jokowi menjadi goyah sehingga terpaksa melakukan safari politik ke tokoh2 partai bahkan ke TNI dan Polisi utk melakukan konsolidasi.

Satu hal yang membuat Jokowi khawatir adalah bahwa gerakan ummat Islam ini punya garis hubungan dengan SBY, sehingga mau tidak mau partai2 yang berada dalam koalisinya harus dikonsolidasi terutama partai2 koalisi pemerintah tetapi berkoalisi dgn Demokrat/SBY di pilkada DKI. Tidak hanya itu, bahkan untuk mengamankan posisi di parlemen, dilakukan pergantian Ketua DPR dengan mengganti Ade Komarudin dengan Setya Novanto yang juga Ketua Umum Partai Golkar.

Dalam perjalanannya ternyata keraguan Jokowi akan koalisi partai pemerintah semakin tinggi walaupun telah dilakukan konsolidasi. Gerakan 212 yang dilakukan ummat Islam semakin membesar dan lebih besar dari aksi 411 yang dilakukan sebelumnya. Sehingga diragukan efektifitas konsolidasi yang dilakukan. Keraguan ini membuat Jokowi melakukan konsolidasi dan melakukan komunikasi lebih baik dengan Prabowo yang notabene adalah lawannya di Pilpres 2014. Kekuatan dan bargain Prabowo diharapkan Jokowi bisa menjadi teman koalisi baru mengimbangi koalisi di internalnya sendiri.

Didalam politik, tentunya koalisi identik dengan berbagi kekuasaan, sehingga ketika komunikasi intens semakin terjadi antara Jokowi dan Prabowo, semetara pihak Prabowo tdk berada dalam kekuasaan, maka isu reshufle muncul dan naik tiba2, padahal reshufle baru beberapa bulan terjadi. Faktor Prabowo menjadi faktor yang sangat penting terjadinya reshufle kali ini karena adanya perubahan2 konstelasi politik.

Pilhan untuk masuk dalam kekuasaan bagi Prabowo adalah pilihan yang harus diperhitungkan dengan matang. Disatu sisi, dengan melemahnya posisi Jokowi, maka peluang Prabowo dan partainya di tahun 2019 akan semakin kuat bila mereka tidak masuk dalam kekuasaan. Sementara disisi lain, tawaran yang menurut informasinya sampai 4 kursi kabinet tentunya sangat menggiurkan. Dan bila masuk kabinet tentunya akses kekuasaan dan akses ekonomi menjadi sangat besar. Tetapi posisi Jokowi akan semakin kuat dan langkah Prabowo menjadi tdk populer bagi masyarakat pemilih kedepannya. 

Maka faktor penentu pihak Prabowo masuk tidaknya kedalam kabinet adalah apakah kekuatan ekonomi Prabowo kuat atau tidak kuat menghadapi Pemilu 2019. Bila kekuatan ekonomi Prabowo masih kuat, maka pilihan masuk kekuasaan menjadi tidak menarik, tetapi bila tidak kuat, maka masuk kekuasaan menjadi pilihan yang paling rasional. Bisa dilihat seperti Partai Hanura yang sdh puasa selama 10 tahun pada saat SBY berkuasa, dan ketika masuk kekuasaan pada masa Jokowi, hanya dalam hitungan 1-2 tahun sdh bisa membangun kantor partai yang megah, sehingga tidak heran pilihan Hanura saat ini adalah kemana Jokowi pergi kesana Hanura akan ikut.

Dalam perjalanannya, ternyata Prabowo masih kuat kekuatan ekonominya untuk menghadapi 2019, sehingga sampai saat ini Prabowo menolak masuk dalam kekuasaan dengan membuat statment, bahwa tidak baik bagi demokrasi bila semua partai masuk dalam kekuasaan. Apakah reshufle akan berhenti, ketika Prabowo menolak masuk dalam kekuasaan ?

Ternyata penolakan Prabowo masuk dalam kekuasaan, membuat partai2 koalisi Pemerintah yang berada dalam posisi yang sama juga dikoalisi DKI, semakin kuat bargainnya ketika Jokowi melemah. Hal ini terlihat pada saat Rakernas PDIP, Megawati sebagai Ketum PDIP, memberi sinyal kuat bahwa PDIP lah pengawal pemerintahan Jokowi yang sesungguhnya, dan kekuatan pemerintahan Jokowi saat ini ada di PDIP dan bila PDIP mengendur maka pemerintahan Jokowi juga akan semakin lemah. 

Sinyal kuat ini menjadi penentu apakah reshufle terjadi atau tidak saat ini. Bila PDIP tidak puas dgn kue kekuasaan saat ini, maka kemungkinan reshufle akan semakin besar. Kita lihat sinyal2 berikutnya dari PDIP dalam beberapa saat kedepan untuk masalah reshufle. Dan sdh pasti saat ini ketergantungan faksi Jokowi makin besar kepada faksi PDIP dan kontrol PDIP juga makin besar utk pemerintahan Jokowi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun